WahanaNews.co | Belakangan
ini, istilah "tapering"jadi kata yang sering dibahas di dunia keuangan. Kata
itu pun disebut-sebut mampu mengguncang sektor keuangan dan dunia investasi. Lalu,
apa sih sebenarnya tapering itu?
Melansir Investopedia, Senin (23/8/2021) tapering merupakan
salah satu senjata yang dimiliki bank sentral sebuah negara. Senjata itu akan
menjadi menyeramkan jika yang menggunakan adalah bank sentral negara besar
seperti Federal Reserve di Amerika Serikat (AS), karena dampaknya akan merembet
kemana-mana.
Baca Juga:
Bea Cukai Tindak 31.275 Perdagangan Ilegal di 2024, Menkeu: Potensi Kerugian Negara Rp3,9 Triliun
Tapering sendiri merupakan kebijakan dari bank sentral yang
mengurangi pembelian aset seperti obligasi (surat utang). Kebijakan ini
merupakan kebalikan dari senjata yang namanya pelonggaran quantitative easing
(QE).
The Fed sendiri sudah melakukan pelonggaran untuk merangsang
ekonomi AS yang sebelumnya loyo dihantam pandemi Covid-19. Kebijakan yang
dilakukan di antaranya penurunan suku bunga dan melakukan "pencetakan uang"
dengan membeli US treasury hingga mencapai US$ 120 miliar per bulannya.
Nah, ketika kebijakan itu sudah berhasil dan ekonomi mulai
membaik, untuk mencegah mesin ekonomi terlalu panas maka tapering dilakukan.
Baca Juga:
Wamenkeu Suahasil: Sektor Keuangan Jadi Game Changer Pembangunan Indonesia
Perbaikan ekonomi di AS sendiri sudah mulai terlihat.
Tercermin dari inflasi yang sudah meningkat dan yield atau imbal hasil obligasi
pemerintah AS (US Treasury) juga merangkak naik.
Lalu kenapa hal itu menjadi heboh?
Ya tentu saja. Jika terjadi taper tantrum, investor-investor
dunia yang memiliki uang jumbo akan menarik uangnya yang mereka sebar ke
negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Alasannya sederhana, yang namanya investor pasti berburu
cuan. Nah ketika taper tantrum, penempatan uangnya di AS akan lebih
menguntungkan bagi mereka. Sebab suku bunga acuan AS akan naik.
Ketika dana asing keluar dari Indonesia dalam jumlah besar
dan terus menerus, sudah pasti akan mengguncangkan dunia investasi dan keuangan
di dalam negeri. Sebab ketika para investor global yang menarik uangnya dari
Indonesia, mereka membutuhkan dolar AS yang besar.
Jika permintaan dolar AS meningkat signifikan, maka nilainya
akan naik dan rupiah yang kita cintai akan semakin lemah. Ngerinya lagi,
psikologis pelaku pasar akan ikut panik. [rin]