"Sepertinya, walaupun ghosting dapat membuat hubungan menjadi ambigu bagi korban, orang yang melakukan ghosting mungkin melihatnya sebagai akhir yang jelas dari hubungan tersebut," lanjutnya.
Lalu, dalam studi ketiga, para peneliti kembali melibatkan 545 peserta dan menggunakan desain eksperimental. Hasilnya, sebagian besar partisipan mengatakan bahwa di-ghosting lebih menyakitkan daripada ditolak langsung.
Baca Juga:
Winson Reynaldi Dikecam Usai Parodikan Paus Fransiskus, Akhirnya Minta Maaf
"Secara khusus, kami menemukan bahwa orang dewasa muda yang merefleksikan diri saat mereka di-ghosting memiliki kepuasan kebutuhan psikologis, seperti perasaan memiliki, harga diri, keberadaan yang berharga, dan kontrol diri yang lebih rendah daripada mereka yang ditolak secara langsung," papar Leckfor.
Selain itu, para peneliti juga mengamati hubungan antara kebutuhan closure dan kepuasan kebutuhan psikologis setelah berakhirnya suatu hubungan.
Hasilnya, orang-orang yang sangat membutuhkan closure merasa lebih sakit hati setelah melakukan ghosting. Lalu, mereka juga merasa lebih sakit ketika ditolak secara langsung. Hal itu berbanding balik dengan mereka yang tidak membutuhkan closure.
Baca Juga:
Foto Mahfud MD Naik Jet Pribadi Viral, Ini Klarifikasinya
"Hal ini menunjukkan bahwa memiliki kebutuhan closure yang tinggi dapat memperbesar pengalaman hubungan yang negatif dan positif," simpul Leckfor. [ast]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.