"Alat bantu pernapasan buatan memainkan peran penting
dalam manajemen klinis dari kegagalan pernapasan akibat penyakit parah seperti
pneumonia atau sindrom gangguan pernapasan akut," kata ahli
gastroenterologi Takanori Takebe dari Universitas Kedokteran dan Gigi Tokyo dan
Pusat Medis Rumah Sakit Anak Cincinnati.
Meskipun efek samping dan keamanan perlu dievaluasi secara
menyeluruh pada manusia, pendekatan kami mungkin menawarkan paradigma baru
untuk mendukung pasien yang sakit kritis dengan gagal napas," imbuhnya
dilansir Science Alert, Jumat (14/5/2021).
Baca Juga:
Manusia yang Dibekukan Bisa Hidup Kembali, Begini Penjelasannya
Seperti yang ditunjukkan tim, pilihan medis standar untuk
pasien dengan kegagalan pernapasan bergantung pada ventilasi mekanis atau
sistem paru-paru buatan. Namun, pandemi saat ini telah mengakibatkan kekurangan
ventilator.
Oleh sebab itu, metode alternatif yang aman diyakini dapat
memberikan dukungan tambahan untuk menyelamatkan jiwa pasien dalam situasi yang
mengerikan. Eksperimen Awalnya, subjek penelitian mereka adalah tikus yang
diberi anestesi.
Para peneliti mengembangkan sistem ventilasi oksigen untuk
dimasukkan secara anal. Mereka menginduksi hipoksia melalui intubasi trakea,
dan membandingkan tikus yang diberi ventilator lewat usus dan yang tidak
mendapat ventilator sebagai tikus kontrol.
Baca Juga:
Heboh Eksperimen Sosial Tutup Aurat Cewek Seksi, YouTuber Ini Banjir Kritik
Dari tikus kontrol, tidak ada satu pun yang bertahan lebih
dari 11 menit. Ini sangat berbeda dengan tikus yang menerima oksigen usus, 75
persen di antaranya bertahan selama 50 menit. Itu hasil yang menarik, tetapi
diperlukan abrasi mukosa usus untuk mencapai pengiriman oksigen yang paling
efisien ke lumen usus. Kelompok tikus yang menerima ventilasi usus tanpa abrasi
memiliki waktu kelangsungan hidup rata-rata hanya 18 menit.
Kadar Oksigen
Meningkat