WahanaNews.co, Jakarta | Setelah mengalami kekalahan dalam kontestasi Pemilu 2024, sejumlah calon legislatif (caleg) mengalami dampak mental yang bervariasi, seperti seringnya melakukan perjalanan naik kereta antara Bogor dan Jakarta atau menghabiskan waktu berjam-jam di luar rumah.
Menurut pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Devi Darmawan, guncangan mental yang dialami oleh para caleg yang tidak berhasil tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan kepada mereka yang dianggap sulit menerima kekalahan.
Baca Juga:
KPU Tetapkan 580 Anggota DPR Terpilih: 8 Caleg Diganti, Ada yang Terjerat Kasus Pidana
Devi menjelaskan bahwa di balik situasi tersebut, terdapat kontribusi dari partai politik yang tidak secara serius mendukung kader-kadernya untuk berkompetisi di tengah tantangan biaya yang tinggi dalam proses demokrasi.
Devi menjelaskan bagaimana persiapan yang sebenarnya dilakukan oleh partai politik ketika menunjuk caleg-calegnya untuk bertarung dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
Bolak-balik Naik Kereta Api
Baca Juga:
KPU Sahkan 580 Caleg Terpilih, 8 Caleg Diganti
Icuk Pramana Putra, Wakil Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Depok, Jawa Barat, mengungkapkan bahwa setidaknya lima calon legislatif (caleg) dari partainya mengalami guncangan mental setelah kalah dalam Pemilu 2024.
Mereka semua adalah calon legislator (caleg) baru yang diharapkan akan bersaing untuk mendapatkan kursi di DPRD Kota Depok. Namun, menurut Icuk, ada satu caleg yang menarik perhatian karena perilakunya yang tidak biasa.
"Ia sering naik kereta dari stasiun Bogor ke Kota, Jakarta... sering pergi bolak-balik dan duduk di Taman Topi selama berjam-jam sampai malam," kata Icuk, seperti yang dilaporkan oleh BBC News Indonesia.
"Bagi saya, apa yang ia lakukan tidak biasa. Karena biasanya caleg ini tidak pernah menggunakan kereta, biasanya kami menggunakan mobil atau motor."
Icuk enggan menyebutkan nama caleg tersebut karena alasan privasi. Menurutnya, caleg tersebut berusia sekitar 40 tahun dan tidak memiliki pengalaman politik sebelumnya serta tidak memiliki latar belakang politik.
Partai PSI menerima caleg tersebut karena dianggap memiliki kualifikasi yang memadai secara personal dan memiliki kesamaan pandangan tentang anti-korupsi dan toleransi.
"Selain itu, karena kemampuan finansialnya cukup baik. Kami berharap ia dapat memenangkan kursi di DPRD Kota Depok."
Dalam pemilihan kali ini, caleg tersebut dikatakan mengeluarkan modal hingga ratusan juta rupiah. Dana tersebut digunakan untuk memasang spanduk atau baliho dirinya sendiri dan bertemu dengan calon konstituennya.
Untuk meningkatkan peluang kemenangannya, kata Icuk, PSI memberikan nomor urut pertama, yang biasanya diberikan kepada pengurus partai.
"Kami kasih ke beliau tempat khusus, karena potensinya cukup besar mengangkat suara PSI."
Untuk lolos ke DPRD Kota Depok, si caleg setidaknya harus mengantongi 7.000 suara. Pada hari pemilihan, perolehan suaranya jauh dari harapan, kata Icuk.
"Ya hasilnya tidak sesuai target si caleg. Suaranya justru salah satu yang terendah dibanding caleg-caleg di nomor yang sama."
Kejadian si caleg bolak-balik naik kereta Bogor-Jakarta terjadi dua hari setelah pencoblosan. Dari cerita tim sukses kepadanya, keluarga sang caleg sampai harus menjemput karena dia enggan pulang.
Beberapa hari setelahnya Icuk ditelepon si caleg yang isinya: "Minta tolong, masih bisa enggak dimenangin?"
Icuk menjawab: "Saya bilang 'nanti kami coba, kami tanyakan apa masih ada kesempatan dan hitung dulu jumlah kursinya'. Intinya dia masih berharap."
Enggan Berada di Rumah
Sementara itu, di Dapil Pamekasan V, Jawa Timur, Suwasik, seorang anggota calon legislatif dari Partai Garuda, harus menerima kekalahan untuk kedua kalinya.
Meskipun rasa kecewa yang dirasakannya tidak sebesar sebelumnya, pikirannya menjadi kacau setelah mengetahui bahwa jumlah suaranya tidak mencukupi untuk membawanya ke DPRD Kabupaten Pamekasan.
Dia mengatakan bahwa selama 10 hari setelah pemilihan, ia lebih sering berada di luar rumah.
"Mulai dari jam 4 sore hingga 9 malam, saya tidak berada di rumah," kata Suwasik.
"Saya merasa butuh sesuatu... saya butuh waktu untuk menyegarkan pikiran... butuh tempat yang nyaman ketika saya merasa tidak nyaman di rumah... jadi saya sering keluar rumah. Kadang ngopi dengan teman-teman... supaya bisa mem-balance-kan pikiran saya lagi," katanya.
Suwasik bercerita hal yang paling membebani pikirannya adalah bagaimana memperbaiki keuangan keluarga setelah mengeluarkan uang untuk modal kampanye.
Pria paruh baya ini tak mau terus terang menyebutkan angka pasti. Yang jelas, menurutnya, di bawah ongkos kampanye pertamanya yang mencapai Rp300 juta.
Angka itu menurutnya kurang maksimal untuk mendulang suara lantaran caleg lain, klaimnya, menggelontorkan uang lebih besar untuk "serangan fajar" atau bagi-bagi duit ke warga pada hari pemilihan.
Suwasik mengaku bahwa perasaan bakal kalah sebetulnya sudah muncul kala Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Karena sistemnya proporsional terbuka, jadi ini perang finansial... bukan perang figur atau kemampuan individu caleg. Kalau modal kita minim ya tidak bisa paksakan diri."
Itu mengapa Suwasik tidak terlalu berharap bisa menang. Dia bahkan tak lagi mengawal perolehan suaranya di tingkat kecamatan.
Kendati sudah dua kali tumbang, ia berkata belum kapok. Masih tersimpan secuil ambisi untuk melenggang ke DPRD Kabupaten Pamekasan dengan menjadikan kekalahan berulang ini sebagai pengalaman.
"Masak saya akan jadi penonton terus," ucapnya.
"Bongkar jalan dan saluran air"
Di Dapil Subang IV, Jawa Barat, Ahmad Rizal sempat dicap caleg stres gara-gara tingkahnya yang viral di media sosial.
Di Instagram, kader Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini nampak mengenakan helm besi dan menyalakan kembang api di siang bolong dalam jumlah besar di menara masjid di kawasan Patokbesi, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Narasi yang berkembang di media sosial dan media online menyebutkan kelakuannya itu meresahkan warga. Bahkan seorang nenek yang memiliki riwayat penyakit jantung disebut meninggal karena kaget mendengar suara petasan
Tapi pria yang akrab disapa Rizal ini membantah semua tuduhan itu.
"[Tudingan] itu dilebih-lebihkan, makanya saya kecewa. Begini, wartawan ada kode etik, harusnya sebelum pemberitaan dinaikkan, konfirmasi dong. Harusnya [pernyataan] dua belah pihak. Terkadang ada beberapa media tidak peduli dengan merugikan orang," keluhnya.
Rizal sebetulnya sudah tiga periode berturut-turut menduduki kursi anggota DPRD Kabupaten Subang. Namun pada pertarungan keempatnya dia kalah.
Ia bercerita hanya memperoleh sekitar 4.600-an suara – merosot tajam dari perolehan suara di tiga periode sebelumnya yang mencapai 12.500 suara.
Padahal di pemilu kali ini dia mengaku sudah melakukan berbagai upaya. Misalnya membangun sejumlah fasilitas publik bernilai hingga Rp1,5 miliar di dapilnya.
Dia menduga, kekalahannya ini akibat manuver caleg lain yang membagi-bagikan "uang jajan" ke pemilih.
"Kalau saya selama empat periode ini tidak pernah ngasih 'uang jajan'. Saya mengandalkan program untuk umum, seperti pembangunan jalan, musala, majelis taklim, masjid, tempat pengajian, fasilitas umum untuk anak muda, olahraga, dan sebagainya."
Karena merasa sudah berbuat banyak di dapilnya, bahkan memakai uang pribadi, Rizal mengaku kaget dengan jumlah suara yang didapat.
Karena itu, dia mengungkapkan bahwa akhirnya dia memutuskan untuk kembali membongkar fasilitas umum berupa saluran air sesuai dengan kesepakatan dengan warga.
"Sekitar satu bulan sebelum pemilihan, penduduk Blok Jambu datang kepada saya dan berkata, 'Pak, di sini sering banjir, bagaimana solusinya?'.
Kemudian saya membeli delapan batang pipa paralon berukuran 12 inci dengan total sekitar Rp12 juta," katanya.
"Kemudian, penduduk menyatakan bahwa seluruh Blok Jambu akan memberikan suaranya kepada saya. Saya bercanda, 'bagaimana jika mereka tidak memilih saya?'. Mereka menjawab, 'maka bongkar saja, Pak', seperti itu," katanya.
"Namun, akhirnya saya merasa dikhianati. Meskipun saya hanya mendapat 40 suara dari total 300 suara, saya merasa bahwa ini sesuai dengan kesepakatan, jadi saya memutuskan untuk membongkar fasilitas tersebut. Semuanya dibangun menggunakan uang pribadi," ungkap Rizal.
Selain itu, Rizal juga mengungkap bahwa dia membongkar jalan di depan rumah warga yang diklaimnya dibangun menggunakan uang pribadi.
Menurutnya, jalan tersebut dibongkar karena tidak menuju ke jalan umum dan merupakan jalan buntu. Alasan lainnya, seorang warga di sana dilaporkan tidak memberikan dukungan kepada Rizal dan mengucapkan kata-kata kasar kepada dirinya.
Gara-gara tindakan itu, dia dituduh sebagai caleg stres.
Adapun soal aksi bakar petasan, ia mengatakan hal itu dilakukan untuk merayakan kemenangannya di beberapa daerah, salah satunya di Tambakjati.
Bakar petasan, katanya, sudah menjadi warga setempat saat menyambut kemenangan, hajatan, atau perayaan hari besar Islam dan tahun baru.
Baginya kekalahan ini adalah takdir. Meskipun keluar uang miliaran rupiah, namun secara mental dia mengaku masih baik-baik saja.
Ongkos Demokrasi
Devi Darmawan, seorang pengamat politik dari BRIN, menyatakan bahwa guncangan mental yang dialami oleh para calon legislator (caleg) yang gagal tidak dapat sepenuhnya disalahkan pada mereka yang dianggap tidak mampu menerima kekalahan.
Menurut Devi, ada faktor lain yang menyebabkan para caleg mengalami kondisi tersebut, seperti kurangnya dukungan serius dari partai politik dalam mendukung kandidatnya dan mahalnya biaya yang terkait dengan proses demokrasi.
"Jadi, ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak cukup mampu mengatasi situasi yang membuatnya tertekan," tambah Devi kepada BBC News Indonesia.
Devi menekankan bahwa secara ideal, parpol seharusnya memberikan persiapan jauh sebelum kontes politik dimulai. Ini termasuk persiapan mental, pemahaman tentang partai politik, strategi kampanye, dan dukungan finansial.
Tujuannya adalah agar para caleg memahami medan pertempuran dan tahu bagaimana cara memenangkan pertarungan. Dengan demikian, beban yang dihadapi oleh caleg menjadi lebih terkelola karena dibagi-bagi.
Namun, menurut pengamatan Devi, kondisi ideal tersebut tidak terjadi di semua partai politik. Hanya partai-partai lama seperti PDI Perjuangan yang memiliki sistem rekrutmen dan mekanisme kaderisasi yang baik. Parpol baru, katanya, cenderung merekrut orang secara spontan menjelang pemilu.
"Padahal calon-calon non-pengurus itu rapuh dan tak siap menerima kenyataan bahwa mereka kalah."
"Karena mereka tidak didukung keuangan dari partai, dan kalau sudah kalah dianggap tidak punya nilai manfaat lagi hingga akhirnya tersisih."
"Beda cerita dengan caleg dari kader dari struktur partai yang sudah dididik dari bawah sampai atas, mereka loyalis dan punya pengalaman lebih banyak soal menang dan kalah."
Karena itulah Devi menilai fenomena caleg stres di Indonesia kebanyakan dialami orang baru yang terjun ke politik. Sebab mereka tidak dibentuk memiliki mental yang tangguh.
Modal kampanye pun dari kantong pribadi. Sehingga ambisi untuk menang sangat besar.
Namun ketika situasinya tak sesuai harapan, mereka jadi hilang arah, ujar Devi.
"Makanya ekses pascapemilu terulang lagi. Misal caleg kalah jadi stres selalu ada di pemilu."
Belum lagi tekanan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya suara pemilih.
Meskipun media digital sudah membanjiri hampir di seluruh kelompok masyarakat, tapi tak bisa dipungkiri bahwa "menebar uang" ke masyarakat masih jadi jurus jitu, ungkap Devi.
Di sinilah, menurutnya, caleg harus bekerja keras untuk bagaimana memperkenalkan dirinya supaya dipilih masyarakat. Kalau perlu melakukan praktik "serangan fajar".
"Jadi beban caleg itu berat dan ditanggung sendiri. Kalau gagal yasudah dianggap kesalahan mereka karena tidak populer di masyarakat."
"Kami memang tidak ada pembekalan mental"
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Depok, Icuk Pramana Putra, mengatakan pada Pileg 2024 partainya memang mengutamakan kader sendiri untuk maju.
Kendati partai yang didirikan pada 2014 ini menyatakan tak menutup pintu bagi orang baru.
"Rata-rata di Pileg kemarin setengah caleg yang maju pengurus dan setengah lagi bukan pengurus. Ya fifty-fifty."
Caleg yang melaju ini, sambungnya, harus menjalani sekolah kader setahun sebelumnya. Namun bagi caleg yang masuk di masa "injury time" minimal wajib tahu soal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Mereka juga mendapatkan instruksi tentang cara melakukan kampanye dan pengetahuan mengenai komisi-komisi yang akan mereka ikuti di parlemen jika terpilih.
"Contohnya, mereka diberitahu tentang fungsi komisi A di bidang pendidikan. Sehingga mereka memiliki pemahaman yang jelas tentang area fokus mereka dan tidak asal membuat program atau janji kampanye," katanya.
Namun, menurut Icuk, belum ada pelatihan khusus untuk kesiapan mental para calon legislator.
"Tidak ada pelatihan khusus untuk kesiapan mental, karena kami beranggapan bahwa hal tersebut adalah urusan pribadi," katanya.
"Secara spesifik, pelatihan hanya memberikan informasi tentang kegiatan selama masa kampanye."
Melihat banyaknya calon legislator yang mengalami tekanan mental akibat kekalahan dalam pertarungan, Icuk menyadari pentingnya pelatihan mental.
Ini juga menjadi bagian dari evaluasi untuk pemilihan umum berikutnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]