WahanaNews.co | Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, Friedrich
Silaban hanya bersekolah di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatera Utara, dan Koningin Wilhelmina School, sebuah
sekolah teknik di Jakarta.
Namun, penganut Kristen Protestan dan
anak seorang pendeta miskin itu telah melahirkan berbagai bangunan modern pada
masanya.
Baca Juga:
Tiga Agenda Paus Fransiskus Hari Ini, Kamis, 5 September 2024
Hingga kini, karya-karyanya pun
menjadi bangunan bersejarah.
Salah satunya adalah kemegahan
sekaligus simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia, Masjid Istiqlal,
Jakarta, yang diresmikan beberapa puluh tahun lalu dan baru selesai direnovasi beberapa hari
lalu.
Pada tahun 1955, Presiden pertama
Indonesia, Ir Soekarno, mengadakan sayembara membuat desain
maket Masjid Istiqlal. Sebanyak 22 dari 30 arsitek lolos persyaratan.
Baca Juga:
Paus Fransiskus Akan Hadiri Pertemuan Antar Agama di Masjid Istiqlal 5 September 2024
Bung Karno, sebagai
Ketua Dewan Juri, mengumumkan nama Friedrich Silaban
dengan karya berjudul Ketuhanan
sebagai pemenang sayembara arsitek masjid itu.
Bung Karno menjuluki F Silaban sebagai
By the grace of God, karena memenangi sayembara itu.
Pada 1961, penanaman tiang pancang
baru dilakukan. Pembangunan baru selesai 17 tahun kemudian, dan resmi digunakan sejak 22 Februari 1978.
Dikutip dari surat kabar Kompas edisi 21 Februari 1978, enam
tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, F Silaban mengatakan:
"Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga
tidak tahu dari mana datangnya."
"Patokan saya dalam merancang
hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan
berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid,"
lanjut dia.
Kesederhanaan ide Silaban rupanya
berbuah kemegahan. Jadilah masjid yang berdampingan dengan Gereja Katedral itu
tampak seperti saat ini.
Masjid Istiqlal berdiri di atas lahan
seluas 9,5 hektar, diapit dua kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45
meter, dan ditopang 12 pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang.
Dindingnya berlapis batu marmer putih.
Air mancur besar melambangkan "tauhid" dibangun di barat daya.
Dilengkapi menara setinggi 6.666
sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung
20.000 umat.
Udara di dalam masjid begitu sejuk, walau tanpa dilengkapi pendingin ruangan. Sebab, Silaban membuat
dinding sesedikit mungkin, supaya angin leluasa masuk.
Silaban ingin umat yang sembahyang di
masjid itu seintim mungkin dengan Tuhan.
Dari Gambir ke Penjuru Dunia
Dikutip dari buku Rumah Silaban: Saya adalah
Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa, Silaban
mulai tertarik dengan dunia arsitektur sejak sekolah di Jakarta.
Sayang, "Perderik", demikian
dia dipanggil sang ayah, tak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat
universitas, karena persoalan biaya.
Karier Silaban di dunia arsitek
diawali saat bersekolah di Jakarta.
Dia sangat tertarik pada desain
bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda,
JH Antonisse.
Setelah lulus sekolah, Silaban
mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di
Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial.
Kariernya terus meningkat, hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun
1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia.
Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke
Belanda, mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan.
Pada saat inilah, Silaban mendalami
arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan "menyentuhnya"
secara langsung.
Tidak hanya Belanda, setidaknya 30
kota besar di penjuru dunia telah dikunjungi Silaban.
Tujuannya satu, mempelajari arsitektur
di negara-negara tersebut.
Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama
setelah kunjungannya ke India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah
yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut.
Perjalanan Silaban itu memengaruhi
keinginannya dalam "manifestasi identitas asli Indonesia; negara yang
bebas dan progresif" melalui karya-karyanya di Tanah Air.
Tutup Usia
Sang arsitek tutup usia pada hari
Senin, 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subroto, karena
mengalami komplikasi.
Selain Istiqlal, peninggalan Silaban
hadir di sekitar 700 bangunan penjuru Tanah Air, di antaranya Stadion Gelora
Bung Karno (Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta/1963),
Monumen Nasional atau Tugu Monas (Jakarta/1960), Gerbang Taman Makam Pahlawan
Kalibata (Jakarta/1953), hingga Tugu Khatulistiwa (Pontianak/1938).
"Dia pergi setelah mengukir
sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau
teknologi, tetapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya
akan dikenang sepanjang zaman," demikian paragraf penutup di situs
bertajuk Silaban Brotherhood. [dhn]