Oleh MUHAMMAD SUBARKAH
Baca Juga:
Berbagi Saat Ramadan, Mendag: Puasa Melatih Empati dan Kesalehan Sosial
SETIAP memasuki bulan Ramadhan, ingatan saya terbang ke kampung halaman.
Dan, ini terasa semakin mengiris kala memasuki waktu Ashar.
Apa pasal? Ya, kala itu biasanya usai
sholat Ashar, saya langsung lari ke beranda masjid untuk memukul beduk sekeras
mungkin sebagai pertanda datangnya Ramadhan.
Baca Juga:
PLN UP3 Cengkareng Jamin Pasokan Listrik Aman Saat Ramadhan
Memang, saya ingat jelas nasihat dari
guru ngaji saya bahwa hari baru yang berdasarkan hitungan putaran bulan dimulai
pada waktu Ashar.
Karenanya, sembari harap-harap cemas
menunggu siaran sidang itsbat, saya tetap lancang memukul beduk sekeras mungkin.
Saya paham kalaupun waktu puasanya
mundur, setidaknya saya tak dimarahi dan bisa berkelit bahwa penyebab mundurnya
puasa memang bukan karena pukul beduk, melainkan dari pernyataan orang yang
bersumpah melihat bulan baru Ramadhan terbit di atas ufuk.
Masjid dan beduk sangat berarti bagi
saya setiap kali datang Ramadhan. Apalagi, zaman itu pada zaman kekuasaan Pak
Harto.
Ada kenangan khusus yang terus
melambai-lambai dalam ingatan ketika datang bulan puasa.
"Di masjid sudah terdengar beduk
dipukul belum?" begitu
tanya saya kepada keluarga yang di kampung kala Ramadhan tiba.
Kalau dia jawab sudah, saya senang
sekaligus terharu. Saya bayangkan suara beduk itu ditabuh bertalu-talu dengan
ritmis. Dug... dug... dug...
Nah, pada masa kini kenangan itu
semakin menyengat ketika baca soal masjid zaman Pak Harto dalam bukunya Wali Brandal Tanah Jawa karya sejarawan
Australia, George Quinn.
Dan, saya makin terkejut ketika dia
bercerita soal arti masjid bagi pemerintahan Orde Baru yang dikenal otoriter
itu.
Quinn, pada halaman 34 buku itu, sekonyong-konyong menulis begini:
...Pada tahun 1980-an, Presiden Soeharto --sang tangan besi--
bahkan mengucurkan uang negara untuk memugar Masjid Agung Demak.
Soeharto menghadiri peresmian selesainya pemugaran masjid, dan
pada kesempatan itu menyatakan pandangan resminya tentang peran Masjid Agung
(Demak) di Indonesia modern, sebagaimana dikemukakan kembali oleh sejarawan
Nancy Florida: Presiden Soeharto menyampaikan keyakinannya bahwa pemugaran
masjid bukanlah pemugaran uang negara atau suatu kemewahan, melainkan sebagai
bagian integral dari pembangunan dalam arti seluas-luasnya.
Presiden memandang pemugaran itu sebagai bagian dari upaya
pemupukan 'modal rohani' bangsa yang menjadi sumber modal kerja yang akan
mendorong kuat-kuat segala aspek pembangunan nasional'...
Membaca tulisan George Quin itu kepala
saya berdenyut keras. Ada perasaan paradoks, pahit dan manis, getir, dan asin
di sana.
Uniknya, apa yang
dikatakan Pak Harto sebangun apa yang dikatakan DR Nurcholish Madjid bahwa Orde
Baru memang meminggirkan Islam secara politik, tapi pada sisi lain mampu
menghela umat Islam untuk bergerak maju secara kualitatif.
Kata Cak Nur, berkat Orde Baru, mulai
awal 1970-an, mulai muncul generasi Muslim terdidik dan secara perlahan secara sosial
mengisi wilayah tengah warga negara Indonesia.
Memang pilihannya juga tidak enak
karena menjadikan Islam politik menjadi sesuatu yang diemohi.
Semboyannya yang terkenal: Islam Yes, Partai Islam No.
Nah, pada masa awal Ramadhan ini saya
pun merenung, memang Pak Harto punya banyak salah (sama dengan para mantan
presiden lainnya), tapi juga sama punya banyak jasanya (sama juga bagi para
mantan presiden lainnya) bagi kaum Muslim.
Tentu, dalam soal sumbangan kepada
umat Islam, jasa pak Harto sangat konkret. Selama 32 tahun berkuasa dia
memotori pembangunan masjid di segenap pelosok Tanah Air.
Bahkan, inisiatif dia sampai ke
mancanegara yang jauh, yakni di Eropa bagian selatan, yakni di Kota Sarajevo,
Bosnia.
Di sana warga Bosnia mengenal masjid
yang cantik dengan menara kembar yang menjulang ke langit.
Mereka menyebut "Masjid
Soeharto" meski sebenarnya punya nama asli, yakni Masjid Istiqlal.
Dan, jejak yayasan yang dibuatnya
untuk membangun masjid, yakni Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, dari data
hingga kini tetap merawat 999 masjid di seluruh Tanah Air.
Masjid ke-999 atau masjid terakhir
yang dibangun YAMP di Bekasi, Jawa Barat, dan diresmikan pada 9 September 2009.
Dalam sebuah laman di media, putri
sulung Presiden Kedua RI Soeharto, Siti Haryanti Rukmana (Mbak Tutut),
mengisahkan bila dia bersama pengurus Yayasan dan para relawan terus memelihara
dan menjaga 999 masjid yang dibangun YAMP.
Ketika dipercaya menjadi Presiden RI pada awal 1970-an, Pak Harto, sapaan Soeharto, sering
melakukan perjalanan diam-diam alias blusukan.
Kata Mbak Tutut, dalam perjalanan yang
hanya ditemani ajudan dan pengawal itu, Pak Harto sering mendapati rakyat
meminta sumbangan di tepi jalan untuk membangun masjid.
"Pak Harto mengaku merasa
terenyuh melihat rakyat terpaksa meminta sumbangan ke sana-kemari. Bahkan, tak
jarang mengadang di jalan untuk membangun masjid karena cinta mereka pada
masjid," kata Tutut.
Dibebani keprihatinan itu, Pak Harto
sempat beberapa waktu merenung.
Didapatlah solusi, sekaligus dengan
melibatkan sepenuhnya partisipasi rakyat mencukupi keperluan mereka sendiri.
"Bapak menggerakkan rakyatnya yang
Muslim bersedekah. Bapak pun meminta keikhlasan para pegawai negeri itu untuk
dipotong gajinya. Sedikit setiap bulan. Ada yang dipotong Rp 50, Rp 100, Rp 500
dari besaran gaji," kata Mbak Tutut pada acara Penghargaan Masjid Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) Terbaik
2019 atau 999 Fastabiqul Khairat,
di Gedung Granadi, Jakarta, Kamis (28/11/2019) siang.
Kala itu, di hadapan ratusan takmir
masjid, wakil dari 999 masjid yang dibangun YAMP, Tutut mengatakan, bila dia
selalu teringat pesan Pak Harto untuk senantiasa merawat sebuah langgar
(mushala) kecil di desa kelahiran ayahnya, Desa Kemusuk, Yogyakarta.
"Masa kecil Pak Harto, kata
Tutut, sangat terkait dengan langgar tempatnya belajar dan menemukan kedamaian
dalam Islam," kata Mbak Tutut.
Nah, ketika Ramadhan tiba entah
mengapa pikiran ini tiba-tiba melayang pada keriangan masjid di kampung yang
sederhana.
Persis sama dengan Pak Harto, pasti
sama-sama terkenang nikmatnya memukul beduk di beranda masjid yang terbuka,
meski sederhana.
Masjid ternyata bekal pembangunan masa
depan. Jadi, masjid ternyata kenangannya lebih mengena dari jalan tol yang
katanya akan dibangun di sebelah utara kampung kecil saya.
Masjid kampung dan beduk yang dipukul
bertalu usai Tarawih dan tengah malam selalu mengundang rindu.
Apa bedanya dengan jalan tol?
Baru dengar rencananya dan melihat
orang memakai topi proyek berwarna kuning datang membawa alat ukur lahan saja,
saudara saya di kampung kontan ribut bukan main.
Banyak yang menangis karena ketakutan
lahan sawahnya akan hilang dan rumahnya harus pindah.
Alhasil, saya hanya termangu.
Beginikah yang dimaksud pembangunan? (Muhammad
Subarkah, Jurnalis
"Republika")-qnt
Artikel ini telah tayang di Republika.co.id dengan judul "Ingat Pak Harto dan Beduk Masjid Kampung
Kala Ramadhan Tiba".