WahanaNews.co | KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur punya banyak cerita yang
berkesan.
Salah satunya ketika ia mengusir sejumlah
petugas Satpol PP DKI Jakarta yang tengah merazia pedagang kaki lima di sekitar
Kantor PBNU.
Baca Juga:
MPR RI Bakal Kaji Ulang Pasal TAP MPR Terkait Soeharto dan Gus Dur
Kenangan ini membekas di memori Warjo,
seorang pedagang ketoprak yang telah meninggal beberapa waktu yang lalu.
Warjo bukan siapa-siapa. Hanya seorang
tukang ketoprak yang berjualan di samping Gedung
PBNU. Namun, ia pensiun menjadi tukang ketoprak sejak 2011.
Ia tinggal di kampung halamannya,
Tegal. Maklum, usianya sudah 80 tahun. Ketopraknya
kemudian dilanjutkan salah seorang cucunya.
Baca Juga:
Wasekjen PBNU Tuding PKB Dalangi Demo di Kantor PBNU
"Ya, dia bukan siapa-siapa. Hanya
seorang tukang ketoprak," kenang Abdullah Alawi.
Namun, dia adalah orang yang mengenal
orang-orang PBNU, sebab ia mangkal di situ sejak tahun
1980-an, masa-masa terakhir kepemimpinan KH Idham Chalid. Kemudian dilanjutkan
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Tahun 2011, awal kepemimpinan Kiai
Said Aqil Siradj, PBNU menggelar peringatan harlah NU
ke-85 secara besar-besar di Gelora Bung Karno.
Dalam hitungan panitia, waktu itu,
hampir seratus ribu orang hadir dari berbagai daerah.
Beberapa hari sebelum puncak
peringatan, Abdullah Alawi sempat makan ketoprak Pak Warjo.
Sembari mengunyah, ia ngobrol dengan
orang yang selalu berpeci hitam itu.
"Tahu enggak, besok
harlah NU yang ke-85?" tanya Alawi.
Mendengar pertanyaan itu, Warjo
terdiam beberapa saat. Bahkan termenung di belakang gerobaknya. Tangannya yang
sedang mengelap piring terhenti.
Lalu ia membuka mulut, tapi bukan
menjawab pertanyaan Alawi, melainkan bercerita tentang perjalanan hidupnya.
Menurutnya, dia ke Jakarta tahun 1960.
Berjualan ketoprak di samping Sarinah atau sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta
Pusat.
Lalu pindah ke samping Gedung Bulog,
Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Dia hijrah dari satu tempat ke tempat
lain untuk memperbaiki pendapatan.
Lalu dia mangkal di sisi kanan kantor
PBNU sejak tahun 80-an. Artinya, dia mengalami kepemimpinan KH Idham Chalid,
Gus Dur, KH Hasyim Muzadi, dan KH Said Aqil Siradj.
"Dia terdiam lagi. Saya menduga dia
akan menjawab pertanyaan saya. Dan saya yakin dia tahu
jawabannya. Dia menengok ke spanduk-spanduk di seberangnya, yang melambai-lambai, yang menyatakan Harlah Ke-85 NU," pikir Alawi.
Ternyata ia tak menjawabnya. Sejurus
kemudian, dia buka mulut lagi. Namun, lagi-lagi bukan menjawab, melainkan
bercerita lagi. Cerita yang menjauh dari pertanyaan itu. Karena mungkin,
baginya, tidak terlalu penting sudah berapa tahun NU berdiri.
"Di kampung saya, di Tegal,
penduduknya NU semua," katanya.
"Tapi saya tidak ikut-ikutan karena
harus mencari uang. Makanya sejak tahun 60, saya pergi ke Jakarta. Saya jualan
ketoprak. Sepiring 15 rupiah harganya," lanjut kakek kelahiran 1935 ini.
Tiap Lebaran dia pulang, kemudian ke
Jakarta lagi. Begitu dan begitu, ritme hidupnya.
Pada tahun 1965, dia sempat pulang, tapi bukan saat Lebaran. Pada saat pulang
itulah ia diinterogasi pemuda Ansor.
"Saya ditanya Pandu Ansor. Kamu Pemuda
Rakyat atau bukan? Saya warga NU," ungkapnya.
Dengan jawaban seperti itu, dia
selamat. Kemudian dia ke Jakarta berjualan ketoprak lagi.
Ceritanya meloncat tentang seseorang
yang berkaca mata tebal, bertubuh pendek dan gemuk.
Pria itu sering makan di gerobaknya.
Kadang minta diantar ke ruangannya. Belakangan, dia kenal orang yang sering
nongkrong itu ternyata Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Menurut pengamatannya, kemeriahan
gedung yang berlantai dua itu berubah dari sebelumnya.
Halaman tak pernah sepi. Banyak tamu
yang datang. Dari pakaiannya, mereka berasal dari berbagai kalangan. Anak muda,
perempuan, dan orang tua. Berpeci dan bersarung, bertopi, berdasi, dan entah
apa lagi.
Kehadiran mereka membawa berkah
baginya. Isi kantongnya bertambah karena sering ada tamu gedung itu mengisi
perut di gerobaknya.
"Lama kelamaan, saya juga kenal dengan
Bu Nuriyah dan anak-anaknya. Saya kenal Yenny. Kalau Yenny ke sini, biasanya
dia ngasih uang. Kalau habis pulang, dan uang saya habis di kampung, saya minta
modal sama Bu Nuriyah," kenangnya.
Kemudian, ia
menceritakan dialog antara dia dan istri Gus Dur itu.
"Butuh berapa Sampean, Pak?" tanya Bu
Nuriyah.
"Dua ratus ribu."
"Oh iya. Ini," jawab Bu Nuriyah.
Suatu ketika, gerobak ketopraknya
digaruk Satpol PP Pemerintah DKI Jakarta. Dia hanya pasrah ketika gerobaknya
digotong orang-orang berseragam itu.
Namun, tanpa diketahuinya, dari
belakang terdengar suara orang marah-marah menghardik orang-orang berseragam
itu.
"Jalanan ini memang milik DKI, tapi
ini halaman kami. Pedagang di sini adalah urusan rumah tangga kami. Dia yang
ngasih makan kami," kata orang itu.
Ternyata suara itu keluar dari mulut
Gus Dur. Dia ngotot mempertahankan gerobak itu dan memarahi mereka.
"Bilang sama atasan kamu! Jangan
sekali-kali lagi ke sini," kata Gus Dur.
Dan gerobak ketoprak Warjo pun akhirnya selamat. [qnt]