WahanaNews.co | Misteri di balik kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir J) bikin geger publik, terlebih Irjen Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus tersebut.
Menko Polhukam Mahfud Md menyebut, motif Sambo di balik pembunuhan tersebut bersifat sensitif dan hanya bisa didengar oleh orang dewasa.
Baca Juga:
Waspadai Orang Manipulatif, Kenali Tanda dan Trik Manipulator di Sekitar Kita
"Soal motif, biar nanti dikonstruksi hukumnya karena itu sensitif, mungkin hanya boleh didengar oleh orang-orang dewasa," beber Mahfud dalam jumpa pers di Kemenko Polhukam, Selasa (9/8/2022), dikutip dari detikNews.
Lebih lanjut, Mahfud menyerahkan proses hukum kasus ini kepada Timsus Polri. Kini, Polri masih menyusun konstruksi perkara penembakan Brigadir J.
"Biar nanti dikonstruksi motifnya," kata Mahfud.
Baca Juga:
Psikolog Sebut Hukuman Fisik Bukan Cara Tepat Perbaiki Perilaku Anak
Menanggapi itu, psikolog Anak dan Keluarga Anna Surti Ariani, SPsi, MSi, Psi, atau yang akrab disapa 'Nina' menjelaskan beberapa topik berita memang tidak ramah bagi anak-anak.
Misalnya berita terkait pembunuhan, horor, pornografi, atau seks yang vulgar. Walhasil, dampingan dan komunikasi orangtua dengan anak setelah mengakses berita amat diperlukan.
Tanpa pengawasan dan arahan, anak-anak bisa memiliki kesalahpahaman atas pesan yang disampaikan dalam informasi tersebut.
"Pemahaman anak itu berbeda, bahkan terbatas. Jadi bisa berbeda, atau bisa terbatas. Secara kualitatif berbeda, atau secara kuantitatif berbeda jumlahnya. Dengan jumlah atau kualitas pemahaman yang berbeda dengan orang dewasa, maka anak tidak betul-betul menangkap berita seperti orang dewasa," terang Nina, Rabu (10/8/2022).
"Bisa jadi, anak menginterpretasi berita dengan caranya sendiri, dengan pikirannya sendiri. yang kita nggak tahu apakah itu tepat atau tidak dan apakah itu oke-oke saja untuk anak atau tidak," lanjutnya.
Nina mencontohkan, berita tentang bencana alam kerap disampaikan berulang dengan pembaruan informasi terus-menerus selama berhari-hari.
Besar risiko jika anak tidak diberi pengarahan, anak mengira setiap harinya terdapat bencana baru. Efeknya, anak menjadi cemas.
Contoh lainnya, berita pembunuhan yang disampaikan secara berkepanjangan dan terus-menerus bisa membuat anak ketakutan. Besar risiko, anak beranggapan bahwa dunia tempatnya hidup tidak aman.
"Atau bahkan ketika ini disebut bahwa ini polisi, (anak berpikir) 'ih berarti polisi tidak menjaga masyarakat malah mencelakai'? Itu kan bisa pemahaman yang salah. Padahal tidak semua polisi seperti itu. Misalnya begitu. Bisa saja anak memiliki pemahaman yang berbeda dan belum tentu baik untuk dirinya," jelas Nina.
"Jadi kalau kita mau mengajak anak menonton berita, memang perlu diterjemahkan dalam bahasa anak dan kita mesti siap untuk mengecek bagaimana sebetulnya ada perubahan apa di anak ketika dia habis mendengar berita tertentu," pungkasnya. [rin]