WahanaNews.co | Fenomena merger operator seluler yang kerap terjadi di Indonesia dinilai merupakan sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Diketahui, Operator Tri dan Indosat Ooredoo baru saja melakukan merger untuk ‘selamat’ di dunia telekomunikasi Indonesia.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, bahwa perkembangan industri telekomunikasi dalam satu dekade terakhir sesungguhnya dalam kondisi tidak sehat dan memprihatinkan.
Baca Juga:
Dorong Pertumbuhan Ekonomi Digital Nias, Indosat Perkuat Jaringan
Meski secara jumlah meningkat di mana hingga Januari 2021 jumlah total pengguna ponsel di Indonesia menurut catatan We Are Social Hootsuite mencapai 345,3 juta, namun jumlah pengguna sesungguhnya sudah mencapai titik jenuh.
Selain itu, secara bisnis, banyak operator dalam kondisi berdarah-darah. Kalaupun dalam beberapa tahun terakhir ada operator yang berubah dari kondisi rugi ke laba, maka itu terjadi karena operator telekomunikasi menjual asetnya yang berupa menara telekomunikasi, data center dan mengubah teknologi yang tadinya dimiliki menjadi manage service.
Kondisi inilah, kata Heru, yang membuat operator seluler mau tidak mau melakukan konsolidasi. Apalagi, era disrupsi dan pandemi juga memukul banyak bisnis dan perusahaan, merger dinilai sebagai solusinya.
Baca Juga:
Capai Income Dua Digit, Indosat Ooredoo Hutchison Tumbuh Kuat 15 Persen pada EBITDA
"Selama ini memang tidak sehat. Transformasi harus dilakukan, salah satunya adalah dengan konsolidasi. Pilihannya, konsolidasi untuk bertahan hidup dan kemudian maju bersama, atau mati," kata Heru.
Menurut mantan anggota BRTI ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah mengeluarkan hasil analisisnya beberapa tahun lalu yang menyatakan jumlah operator seluler di RI terlalu banyak. Idealnya operator seluler hanya cukup pasarnya bila hanya 3-4 pemain saja.
"Sehingga, konsolidasi berupa penggabungan, adalah sebuah keniscayaan. Bahkan bukan keniscayaan, tapi keharusan," ujarnya.