WahanaNews.co | Tim
peneliti Universitas Colorado Boulder menemukan fakta bahwa respons imun awal
inang memainkan peran dalam mendeteksi infeksi dan potensi penyebarannya dalam
suatu populasi.
Baca Juga:
Mengungkap Rahasia Alam: Gempa Bumi Ternyata Kunci Pembentukan Bongkahan Emas
Kesimpulan itu muncul setelah para peneliti meneliti
kemampuan plankton menangkal parasit, hasil temuan mereka telah diterbitkan di
The American Naturalist.
Penelitian ini diklaim memberikan wawasan berharga untuk
memahami dan mencegah penularan penyakit di dalam dan di antara spesies hewan.
Melansir phsy.org, peneliti mengatakan respons kekebalan
makhluk yang terinfeksi merupakan variabel penting untuk dipertimbangkan dalam
menghitung apa yang terjadi selanjutnya.
Baca Juga:
Penelitian Ungkap Generasi X dan Milenial Berisiko Tinggi Alami Kanker
"Salah satu pola terbesar yang kami lihat dalam ekologi
dan epidemiologi penyakit adalah kenyataan bahwa tidak semua inang sama. Dalam
penelitian penyakit menular, kami ingin membangun kekebalan tubuh inang ke
dalam pemahaman kami tentang bagaimana penyakit menyebar," kata Tara
Stewart Merrill, penulis utama makalah.
700 Ribu Kematian
Invertebrata adalah vektor umum penyakit, yang berarti
mereka dapat menularkan patogen menular antara manusia atau dari hewan ke
manusia. Penyakit yang ditularkan melalui vektor, seperti malaria, menyumbang
hampir 20 persen dari semua penyakit menular di seluruh dunia dan bertanggung
jawab atas lebih dari 700 ribu kematian setiap tahun.
Namun studi epidemiologi jarang mempertimbangkan kekebalan
dan pemulihan invertebrata pada makhluk yang merupakan vektor penyakit manusia.
Mereka berasumsi bahwa setelah terpapar patogen, inang invertebrata akan
terinfeksi.
Tapi bagaimana jika invertebrata bisa melawan penyakit ini
dan memutuskan mata rantai yang menularkannya ke manusia?
Saat mengamati spesies kecil zooplankton (Daphnia Dentifera)
sepanjang siklus hidupnya dan terpapar parasit jamur (Metschnikowia
bicuspidata), para peneliti melihat potensi ini beraksi. Beberapa plankton
pandai menghentikan spora jamur memasuki tubuh mereka dan yang lain
membersihkan infeksi dalam jangka waktu tertentu setelah menelan spora.
"Hasil kami menunjukkan bahwa ada beberapa pertahanan
yang dapat digunakan invertebrata untuk mengurangi kemungkinan infeksi, dan
bahwa kami benar-benar perlu memahami pertahanan kekebalan tersebut untuk
memahami pola infeksi," kata Merrill.
Merrill awalnya hanya mempelajari kemampuan bertahan
plankton dari spora. Secara umum, spora bisa menyerang usus plankton, mengisi
tubuhnya dan tumbuh sampai mereka dilepaskan ketika inang akhirnya mati jika
gagal menangkalnya.
Namun Merrill justru melihat hal yang belum pernah direkam
sebelumnya, yakni beberapa plankton yang hancur itu pulih. Beberapa tahun
kemudian, dia menemukan bahwa ketika dihadapkan pada tingkat keterpaparan yang
sama, keberhasilan atau kegagalan infeksi ini bergantung pada kekuatan
pertahanan internal inang.
Akhirnya Menular
Berdasarkan pengamatan terhadap setiap plankton, para
peneliti kemudian mengembangkan model probabilistik sederhana untuk mengukur
kekebalan inang yang dapat diterapkan di seluruh sistem satwa liar, salah
satunya untuk penyakit yang ditularkan ke manusia oleh invertebrata.
"Ketika respons imun baik, mereka bertindak sebagai
filter yang mengurangi penularan. Tetapi setiap perubahan lingkungan yang
menurunkan kekebalan sebenarnya dapat memperkuat penularan, karena itu akan
membiarkan semua paparan itu terjadi dan akhirnya menjadi menular," ujar
Merrill.
Merrill dkk meyakini model yang digunakannya juga dapat
diterapkan pada Covid-19 karena penelitiannya telah menunjukkan bahwa tidak
semua inang sama dalam menularkan virus corona dan paparan tidak secara
langsung menentukan infeksi.
Covid-19 juga diyakini sebagai hasil dari limpahan zoonosis,
infeksi yang berpindah dari hewan ke manusia, dan model probabilistik serupa
dapat bermanfaat dalam memprediksi terjadinya dan penyebaran peristiwa
penularan di masa depan.
Melansir Eurek Alert, Merrill berharap pemahaman yang lebih
baik tentang infeksi pada hewan sederhana seperti plankton dapat diterapkan
secara lebih luas pada invertebrata yang penting bagi kesehatan manusia.
Tingkat Sanitasi
Rendah
Di Afrika, Asia Tenggara, serta Amerika Selatan dan Tengah,
200 juta orang menderita infeksi yang disebabkan oleh schistosomes,
invertebrata yang lebih dikenal sebagai cacing pipih parasit.
Mereka menyebabkan penyakit dan kematian, serta konsekuensi
ekonomi dan kesehatan masyarakat yang signifikan sehingga Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menganggap mereka penyakit parasit yang paling merusak secara
sosial ekonomi kedua setelah malaria.
Schistosomes hanyalah salah satu dari banyak penyakit tropis
yang ditularkan ke manusia oleh inang invertebrata seperti siput, nyamuk, dan
lalat penggigit.
Penyakit ini menginfeksi sebagian besar populasi, terutama
terjadi di daerah dengan tingkat sanitasi rendah yang tidak memiliki sumber
daya ekonomi untuk mengatasi penyakit tersebut.
Schistosomes hidup di lingkungan air tawar yang digunakan
orang untuk air minum, binatu, dan kamar mandi. Meski ada pengobatan, keesokan
harinya seseorang bisa dengan mudah tertular kembali hanya dengan mengakses air
yang mereka butuhkan.
Dengan lebih memahami bagaimana cacing pipih itu sendiri
menyerah atau melawan infeksi, ilmuwan seperti Merrill telah membantu memahami
lebih dekat dalam menghentikan rantai penularan ke manusia.
"Kami benar-benar perlu bekerja untuk memahami
pencegahan infeksi, dan risiko apa yang ada dalam sistem akuatik itu, daripada
hanya menyembuhkan infeksi," katanya. [dhn]