WahanaNews.co | Di Indonesia, pengetahuan mengenai produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya
(HPTL), seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong
nikotin, masih terbilang rendah.
Ada banyak kesalahan persepsi yang
melingkupi masyarakat terkait produk-produk itu, khususnya rokok elektrik.
Baca Juga:
Pakar Ingatkan Bahaya Kesehatan Rokok Elektrik bagi Orang di Sekitar
"Salah satunya adalah terkait dampak
risiko yang timbul akibat penggunaannya," ujar Kepala Pusat Studi Konstitusi
Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, dalam keterangannya, Sabtu (23/1/2021).
Trubus mengaku, tembakau telah menjadi
bagian dari kehidupan dan budaya masyarakat Indonesia.
Dalam sebuah survei oleh Kantar, yang melibatkan 5.702 responden dari enam negara, termasuk Indonesia, sebanyak 87 persen responden dari Indonesia
mengaku memiliki anggota keluarga yang merokok.
Baca Juga:
Waspada, Ini 3 Bahan Berbahaya pada Rokok Elektrik
Sebanyak 57 persen dari mereka
menyebutkan, yang menjadi perokok dalam keluarga adalah sang ayah.
"Sebanyak 73 persen responden
Indonesia yakin bahwa bahaya merokok karena nikotin. Namun, pada faktanya,
proses pembakaran rokok dan tar yang mengandung bahan kimia berbahaya yang
dapat menyebabkan kanker. Ini yang fakta sama persepsinya berbeda," tutur
Trubus.
Oleh karena itu, sosialisasi dan
edukasi konsumen terkait profil risiko produk HPTL mendesak untuk dilakukan, guna memperkecil dampak buruk akibat konsumsi rokok di masyarakat.
Menurut Trubus, masih banyak
masyarakat Indonesia menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah
pernapasan dan kecanduan.
"Faktanya, rokok elektrik memiliki
risiko 95 persen lebih rendah daripada rokok. Ini menunjukkan keterbatasan
pemahaman mengenai profil risiko HPTL," ucap Trubus.
Trubus memaparkan, risiko kesehatan
yang ditimbulkan produk HPTL, seperti rokok elektrik, 90 persen lebih rendah
dibandingkan rokok karena terdapat perbedaan proses penggunaan.
Hal itu karena produk tersebut tidak melalui proses pembakaran.
Dengan demikian, produk HPTL dapat
menjadi solusi yang paling realistis untuk mengurangi risiko kesehatan akibat
rokok.
Namun, 47 persen responden Indonesia
masih menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah pernapasan.
"Untuk itu, edukasi produk HPTL kepada
masyarakat menjadi penting," kata Trubus.
Trubus menilai, butuh regulasi khusus
lantaran produk HPTL ilegal yang beredar saat ini cukup tinggi.
"Kemarin, ada
produk ilegal ke Batam dan jumlahnya sampai berton-ton. Dan 90 persen responden
setuju HPTL harus diregulasi secara khusus dan disediakan bagi perokok. Seperti
Inggris yang sudah ada regulasinya," terang Trubus.
Kepala Bidang Pengawasan Produk Hasil
Pertanian, Aneka Ragam Kewirausahaan, Kementerian Perdagangan, Amirudin Sagala, menyatakan, berdasar riset Kementerian Perdagangan, pengguna HPTL,
khususnya rokok elektrik, sudah mencapai 2,2 juta.
Sedangkan jumlah outlet penjual mencapai 5 ribu.
Menurut Amirudin, jumlah pengguna HPTL
di Indonesia itu sudah cukup besar.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan barang beredar yang lebih ketat menggunakan
UU Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen serta penerapan Standar
Nasional Indonesia (SNI) atas produk-produk tersebut.
"Tujuannya untuk perlindungan
konsumen. Agar konsumen cerdas dapat angkat martabat konsumen dari barang ekses
negatif. Kita edukasi konsumen dan pelaku usaha juga harus bertanggung jawab
terhadap barang atau jasa yang beredar. Kami harapkan supaya semakin
berkualitas," tutur Amirudin. [dhn]