WahanaNews.co | Dalam menyambut bonus demografi Indonesia yang diprediksi terjadi pada tahun 2030-2045 mendatang, DPN Badan Serikat Pekerja Persatuan Indonesia (Basperindo) mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang telah resmi menjadi RUU Inisiatif DPR pada (30/7/2022) tahun lalu.
Arnod Sihite Ketua Umum DPN Basperindo ikut mendorong agar RUU KIA segera disahkan demi mempersiapkan diri dalam menyambut bonus demografi Indonesia. Ia menilai RUU ini penting dan mendesak dan butuh kepastian untuk melindungi pekerja Ibu dan anak.
Baca Juga:
Polemik Bea Cukai Tahan Kiriman Barang PMI, Basperindo Apresiasi Respon Cepat BP2MI
"RUU KIA ini kan sudah sejak tahun lalu ditetapkan menjadi RUU Inisiatif DPR. Tentunya masyarakat juga menunggu kepastian dari pengesahan RUU ini dan saya melihat RUU ini sudah cukup mendesak demi memberikan perlindungan terhadap pekerja Ibu," ujar Arnod kepada WahanaNews.co pada Minggu (25/6/2023).
"Hal ini sudah selayaknya menjadi Program prioritas legislasi nasional, agar bonus Demografi dapat menjadi hal yang positif bagi perekonomian Indonesia. Apalagi tahun 2030 pemerintah sudah pantas menyusun angenda program pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan visi emas tahun 2024 dengan harapan terciptanya generasi produktif yang berkualitas, wajib kita dukung bersama,” sambungnya.
Senada, Tri Ruswati Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pekerja Migran DPN Basperindo menilai RUU ini akan memberi jaminan kesehatan bagi ibu dan anak, khususnya dari kalangan yang kurang mampu.
Baca Juga:
ILO Hadiri Talk show FSP Kerah Biru: Kampanyekan Kesetaraan Gender
"Demi menciptakan rasa aman dan nyaman kepada seorang Ibu saat bekerja, saya rasa sudah selayaknya RUU ini menjadi prioritas untuk segera disahkan," kata Tri kepada WahanaNews.co.
Terpisah, kumpulan dari konfederasi Serikat pekerja dan serikat buruh menggelar lokakarya untuk merespon RUU KIA, pada Selasa (21/06/2023) di Tangerang, yang memaparkan bahwa Indonesia harus mempersiapkan bagaimana di tahun 2045 nanti generasi sudah siap menghadapi era bonus demografi.
Ket Foto: Peserta Lokakarya yang digelar kumpulan dari konfederasi Serikat pekerja dan serikat buruh pada Selasa (21/06/2023) di Tangerang.
Apa itu bonus demografi ?
Menurut United Nations Population Fund, bonus demografi adalah kondisi ketika masyarakat berusia produktif lebih banyak daripada masyarakat berusia nonproduktif.
Usia produktif yang dimaksud ialah 15-64 tahun. Sementara itu, masyarakat nonproduktif adalah mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.
Tak hanya itu, jumlah masyarakat berusia produktif ini menguasai 70% populasi suatu negara. Sementara itu, jumlah masyarakat berusia nonproduktif hanya 30% di antaranya. Di Indonesia sendiri, isu ini ditaksirkan terjadi pada 2030-2045,
Lalu, mengapa bonus demografi bisa terjadi?
Dilansir dari Detik.com, kondisi ini terjadi karena adanya perubahan struktur umur penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, angka kematian bayi (infant mortality rate) menurun sehingga jumlah bayi yang tetap hidup hingga dewasa terus meningkat.
Kedua, angka kelahiran total (total fertility rate) menurun sehingga anak yang berusia di bawah 15 tahun pun berkurang.
Kondisi ini memiliki dampak yang besar bagi tatanan sosial dan ekonomi suatu negara. Fenomena ini bisa menjadi sebuah peluang baik menarik bagi Indonesia.
Namun, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi justru bisa menjadi hal buruk bagi sebuah negara.
Oleh karena itu, pemerintah dan kita sendiri harus siap dalam menghadapinya.
Apa korelasinya dengan RUU KIA ini ?
Jelas, dalam hal ini pemerintah harus menyiapkan juga agar keberlangsungan generasi penerus siap dengan tantangan terutama di industry kerja termasuk kesejahteraan Ibu dan Anak.
Ira Laila, Ketua Komite Perempuan Industriall Council Indonesia sebagai salah satu narsumber dalam Lokakarya mengatkan kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, sementara stunting baru terlihat setelah anak berusia 2 tahun.
“Lewat RUU KIA ini, kita akan di fokuskan bagaimana anak bisa tumbuh kembang dengan baik, ibu yang bekerjapun harus diperhatikan, seperti waktu istirahat pra dan pasca melahirkan, gizi anak dari 1000 hari pertama kehidupannya.” terang Ira.
Fenomena bonus demografi tersebut dianggap memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat dan industri kerja.
Industriall beberapa kali melakukan audiensi dengan stakeholder seperti Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN) membahas pembayaran cuti melahirkan yang menjadi tanggungan negara dalam system jaminan sosial. Hal ini tentu akan menghasilkan durasi cuti yang lebih Panjang.
Dalam data yang disampaikan oleh ILO, ada beberapa opsi skema tunjangan jaminan sosial ini atau yang disebut jaminan maternitas.
Tunjangan maternitas, Durasi mendapat manfaat dan Besaran iuran (% pendapatan tertanggung)
Opsi 1 (UU No. 13 2003) : mendapat manfaat 100% durasi selama maksimal 13 minggu, iuran 0,65% dari upah
Opsi 2 : mendapat manfaat 45% durasi selama maksimal 14 minggu, iuran 0,32% dari upah
Opsi 3 : mendapat manfaat 67% selama maksimal 14 minggu, iuran 0,50% dari upah
Opsi 4 : mendapat manfaat 100% selama maksimal 14 minggu, iuran 0,70% dari upah
Opsi 5 : mendapat manfaat 67% selama maksimal 26 minggu, iuran 0,87% dari upah
Opsi 6 : (Usulan di RUU KIA) 100% selama maksimal 26 minggu, iuran 1,30% dari upah
Namun memang pembahasan ini belum ada di konsideran atau pertimbangan dalam peraturan perundang-undangannya.
Karena hal ini butuh di bicarakan secara menyeluruh antara pekerja, pengusaha dan pemerintah, terlebih lagi ada iuran yang harus di bebankan untuk pemotongan setiap bulannya.
Dan memperhatikan dampaknya, apakah baik bagi pihak-pihak terkait.
Perlu adanya kertas posisi untuk mengakomodir semua usulan dan pandangan serikat buruh dalam hal ini, bicara tentang Kesejahteraan ibu dan anak akan sangat disayangkan jika implementasinya nanti akan berjalan tidak sesuai harapan.
Beberapa drafter perwakilan konfederasi serikat pekerja juga menyampaikan hasil diskusinya tentang usulan dalam bentuk matrik,
Secara garis besar seluruh konfederasi berpandangan sama, tentang salah satu pasal dalam RUU KIA Pada Pasal 5 ayat (2) “Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a mendapatkan hak secara penuh 100% (seratus persen) untuk 3 (tiga) bulan pertama dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk 3 (tiga) bulan berikutnya.”
Adapun pandangan dari serikat buruh merujuk pada pasal tersebut mengusulkan untuk Cuti Melahirkan wajib 6 bulan dengan pembayaran upah 100% dengan argument yang kuat bahwa 6 bulan adalah masa pemulihan pasca melahirkan (baik secara fisik dan psikologis) dan 3 bulan selanjutnya untuk jalinan kasih antara ibu dan bayinya,
Ada lagi pasal tentang cuti pendampingan melahirkan untuk suami atau pekerja laki-laki,
Pada Pasal 6 ayat (2), Suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berhak mendapatkan hak
cuti pendampingan:
a. melahirkan paling lama 40 (empat puluh) hari; atau
b. keguguran paling lama 7 (tujuh) hari.
Adapun pandangan dari serikat buruh mengusulkan untuk cuti pendampingan ini redaksi di perbaiki menjadi cuti pendampingan melahirkan wajib selama 40 hari atau pendampingan keguguran wajib selama 7 hari dengan argumentasi bahwa peran ayah penting untuk support system ibu pasca melahirkan.
Tindaklanjut terhadap usulan ini nantinya akan dibawa dalam pertemuan dengan unsur terkait seperti Komisi Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (KP3A), Panja, DJSN, BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, juga tentunya Kemnaker.
[Red: Amanda Zubehor]