Pada awal penelitian, semua pasien menjalani IRT, tapi setengahnya mendapat terapi lain yang disebut treatment memory reactivation (TMR). Di akhir sesi pertama IRT, pasien dihadapkan pada bebunyian selama menghafal skenario mimpi positif. Tujuannya untuk menggabungkan dua hal tersebut.
Selama dua minggu, kelompok eksperimen terpapar suara yang sama selama tahap REM. Para peneliti menemukan di akhir periode, bahwa pasien yang menjalani TMR jarang bermimpi buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapat IRT. Mimpi mereka menjadi lebih positif, dan tak lagi seintens dulu setelah tiga bulan.
Baca Juga:
Fakta-fakta Ilmiah Soal Tidur yang Jarang Diketahui, Simak Yuk!
Menurut peneliti, percobaan ini menunjukkan pentingnya tahap REM dalam memperkuat memori positif, meski secara tersirat.
“Mungkin ada efek konvergen (dan aditif) pada mekanisme IRT dan TMR yang memengaruhi pengalaman emosional selama bermimpi. Contohnya, mengurangi rasa takut dalam mimpi (yang disebabkan oleh proses pemusnahan rasa takut) dapat menimbulkan emosi yang lebih positif dalam mimpi,” demikian bunyi penelitiannya.
Efektivitas manipulasi mimpi buruk masih perlu diuji dalam skala yang lebih besar, tapi TMR diharapkan bisa menjadi pilihan “terapi tidur” bagi pasien yang mengalami masalah psikologis lain, seperti gangguan kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), perubahan suasana hati ekstrem, dan insomnia. [rna]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.