WahanaNews.co | Setelah TikTok diserang, gini giliran aplikasi-aplikasi
lainnya yang harus berjuang keras untuk tidak menghadapi nasib yang sama, dan
berupaya menyedot banyak pengguna.
Baca Juga:
Banjir Landa Kota Binjai, Sejumlah TPS Ditunda Untuk Melakukan Pemungutan Suara
Para pembuat aplikasi China harus gesit di dunia di mana pasar utama telah
berubah menjadi musuh teknologi negara mereka.
Mereka
berada di bawah radar di wilayah di mana perang atas privasi, keamanan, dan
geopolitik berkecamuk, atau pindah ke pasar yang lebih bersahabat untuk
memenangkan jutaan unduhan, tulis Beiyi Seow di mata-matapolitik.
Para
ahli mengatakan, itu bisa menandakan peningkatan yang tak terhentikan untuk
teknologi China yang cerdas dan responsif, tergantung pada kerusakan jangka
panjang yang mungkin ditimbulkan oleh pertengkaran keamanan dan diplomatik pada
merek Made in China.
Untuk saat ini, strategi platform milik China (refleks cepat ke basis
pelanggan mereka dan pemasaran media sosial yang agresif), memenangkan
penggemar di tempat yang tidak terduga.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Retailer fashion online SHEIN telah mengerahkan influencer dan
selebriti di AS, termasuk penyanyi Rita Ora dan Katy Perry, untuk menopang
peringkat di app store.
Platform tersebut juga mengiklankan rangkaian kaos, gaun, dan aksesori
terjangkau yang dikurasi Katy Perry, bertepatan dengan peluncuran albumnya
tahun ini.
Perusahaan ini sekarang menjadi salah satu dari lima aplikasi
belanja gratis teratas di app store Apple di AS, Australia, dan Prancis,
menurut lembaga penelitian Sensor Tower yang berbasis di AS.
"Banyak pengguna global mereka sebenarnya tidak menyadari bahwa mereka
berurusan dengan perusahaan China," ujar analis ritel yang berbasis di Hong
Kong Philip Wiggenraad tentang aplikasi semacam itu.
Dalam unggahan pada
Februari di WeChat untuk merekrut pemasok, SHEIN mengatakan telah beroperasi di
lebih dari 200 negara, dengan penjualan pada 2019 melebihi 20 miliar yuan
(US$2,96 miliar).
Bahkan TikTok (yang dihantam oleh sengketa kepemilikan di AS, di mana ia
dituduh sebagai risiko keamanan) telah mengumpulkan sekitar 800 juta unduhan
tahun ini secara global, meskipun ada publisitas negatif, data Sensor Tower
menunjukkan. Itu terjadi meskipun TikTok masuk daftar hitam di India, yang juga
telah melarang lebih dari 200 aplikasi China lainnya, setelah sengketa
perbatasan yang mematikan awal tahun ini.
TikTok sekarang sedang berjuang untuk mencapai kesepakatan yang
memungkinkannya melanjutkan operasi di AS yang sangat populer. Kesulitan
aplikasi ini (dan aplikasi lainnya yang menderita keributan geopolitik) dapat
menandai jalan ke depan untuk platform China yang kurang terkenal lainnya,
lanjut Beiyi Seow.
Aplikasi berbagi file SHAREit (yang dilarang pada Juni oleh India), dengan
cepat berpindah ke pasar baru. SHAREit mengatakan sudah memiliki 20 juta
pengguna aktif bulanan di Afrika Selatan dan juga menargetkan Indonesia, yang
memiliki populasi terbesar keempat di dunia.
Yang lainnya membuat basis di luar China, di mana para ahli mengatakan bahwa
mengikatkan diri lebih awal dengan bisnis Barat dapat menyeimbangkan diri
melawan potensi boikot oleh pemerintah yang curiga. "Kami memiliki server di
beberapa lokasi berbeda di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Singapura,
dan India," ungkap juru bicara Bigo, pemilik aplikasi video pendek Likee,
kepada AFP.
"Tapi kami tidak memiliki server di daratan China atau Hong Kong." Bigo
dibangun dan berkantor pusat di Singapura sebelum dibeli oleh perusahaan China
JOYY, yang terdaftar di Nasdaq di New York. Aplikasi tersebut adalah yang
paling banyak di-install oleh penerbit China selama tahun ini hingga
pertengahan September, menurut Sensor Tower.
Dengan privasi, keamanan siber, dan potensi pengaruh Beijing, menjadi
masalah penting, para pengembang China perlu melakukan lebih banyak hal untuk meyakinkan
pemerintah dan konsumen dalam jangka panjang, Beiyi Seow mencatat.
Kecurigaan kemungkinan akan "mengubah lanskap tempat mereka beroperasi, dan
memaksa mereka untuk mengadopsi bisnis yang sangat berbeda dan strategi
lokalisasi data," tutur Severine Arsene dari Universitas China Hong Kong,
dikutip mata-matapolitik.com.
Itu bisa berarti menempatkan kantor pusat perusahaan dan pengembangan
teknologi di wilayah yang "lebih aman", atau menemukan pemrosesan data di
wilayah yang berbeda. "Ini membutuhkan adaptasi seluruh arsitektur teknologi
dari layanan yang diberikan," tambahnya.
Tekanan menunjuk pada masalah fundamental perusahaan China yang dilihat
sebagai "proxy de facto" Partai Komunis China, menurut peneliti dari
Hinrich Foundation Alex Capri. "Perusahaan China akan semakin sulit bersaing di
luar lanskap digital tekno-otoriter," tambahnya.
Perusahaan China semakin menarik kecurigaan apakah mereka mungkin terpaksa
berbagi data dengan pemerintah. Terlepas dari pertengkaran baru-baru ini dengan
Washington dan New Delhi, Beijing tidak menunjukkan tanda-tanda
"mengesampingkan ambisi teknologinya," ucap ekonom United Overseas Bank Ho Woei
Chen.
Bahkan pemisahan China di masa depan dari rantai pasokan teknologi global
dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan, dengan memaksa "perusahaan
China untuk meningkatkan dan membangun kemampuan mereka," tambahnya. Dan
didorong oleh pasar domestik yang besar, "mereka kemungkinan besar akan tetap
berbisnis," dikutip dari mata-matapolitik.com.(JP)