Lalu menjadikan monyet sebagai konten media sosial, karena merebaknya para influencer melakukan hal tersebut, juga memicu tingginya pembelian bayi-bayi monyet ini.
"Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok dan keluarga yang solid. Untuk bisa mendapatkan anak atau bayi monyet biasanya para pemburu akan membunuh induknya. Tentu saja hal ini sangatlah kejam dan bertentangan dengan kesejahteraan hewan bahkan peraturan pemerintah," ujarnya.
Baca Juga:
Heboh Video Monyet Ambil HP Pengunjung di Taman Margasatwa Ragunan, Ini Kata Pengelola
Ia juga menerangkan, JAAN sudah banyak menyelamatkan monyet-monyet dari laporan warga dan sitaan pemerintah hingga tidak ada lagi tempat.
"Di fasilitas rehabilitasi satwa kami di Sumatera baru-baru ini ada sekitar 36 ekor bayi monyet yang berhasil disita oleh pihak berwenang. Ke semua bayi tersebut berhasil diselamatkan dalam perjalanan menuju Pulau Jawa dan Bali," ujarnya.
Ia juga menyebutkan, sayangnya hingga saat ini laporan dan aduannya kepada pihak terkait tidak mendapat tanggapan. Padahal masyarakat Hindu Bali sangat menghormati monyet-monyet ekor panjang ini.
Baca Juga:
Diduga Gegara Monyet Main di Kabel Listrik, 22 Rumah di Riau Hangus Terbakar
"Seperti di Sangeh, Monkey Forest, Uluwatu, Alas Kedaton dan Pura Pulaki. Tapi mirisnya masih terjadi praktik perdagangan dan pemeliharaan monyet-monyet ini di Bali. Kami, berharap pemerintah Bali melalui Dinas Peternakan, Pemerintah Kota Denpasar dan tentunya Balai Karantina Denpasar dapat menghentikan perdagangan monyet ekor panjang di pasar burung," ujarnya.
Ia juga mengatakan, monyet ekor panjang atau macaca fascicularis adalah spesies primata yang sangat sosial, hidup berkelompok dan cerdas. Mereka tidak layak untuk dipelihara sebagai hewan peliharaan.
Menurutnya, monyet yang dipelihara dapat meningkatkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia maupun sebaliknya atau zoonosis. Misal, penyakit TBC, rabies dan virus lainnya.