WahanaNews.co | Terkait relokasi pedagang kaki lima (PKL) Malioboro tinggal hitungan hari. Komunitas pendorong gerobak yang menggantungkan hidupnya dari para pedagang kian di ujung tanduk.
Setidaknya tercatat 91 anggota yang tergabung dalam Paguyuban Pendorong Gerobak PKL Malioboro. Puluhan tahun mereka mencari sesuap nasi dari hasil menekuni antar-jemput gerobak milik pedagang kelompok Tri Darma dan Paguyuban PKL Malioboro Ahmad Yani (Pemalni).
Baca Juga:
Lorong Malioboro Disewakan ke PKL Liar, Tarif Rp 24 Juta per 6 Bulan
"Yang paling sepuh sudah 27 tahun, tapi kalau saya baru 10 tahun terakhir ini," kata Kuat selaku Ketua Paguyuban Pendorong Gerobak PKL Malioboro saat dihubungi, Kamis (27/1).
Kuat berkisah, tiap harinya ia dan rekan-rekan seprofesi disewa jasanya untuk memastikan gerobak para PKL siap pakai. Menyiapkan dari gudang penyimpanan dan mengantar ke lapak kala azan subuh bahkan belum berkumandang dan mengambilnya kembali saat kawasan Malioboro mulai menemukan hiruk pikuknya.
Area jelajah para pendorong gerobak dari kawasan Hotel Grand Inna Malioboro sampai titik Ngejaman. Jarak terjauh antara lapak PKL dan gudang penyimpanan di Taman Yuwono, Sosromenduran sekitar 700 meter. Sekali pulang-pergi dorong satu gerobak berarti 1,4 kilometer ditempuh.
Baca Juga:
Bereskan Lapak, PKL Malioboro Diberi Waktu Sampai 7 Februari
Namun, jarak dan cara kerja itu hanya berlaku untuk tipe gerobak 2 in 1 yang memungkinkan dipakai sekaligus untuk berjualan. Tipe 3 in 1 kurang fleksibel, membutuhkan proses bongkar muat barang karena tak bisa difungsikan sebagai etalase dagang.
Tipe 3 in 1 biasa dipakai PKL yang memiliki keterbatasan lahan, umumnya berlapak mepet pilar bangunan. Karena tak bisa menempatkan gerobaknya otomatis harus memakai rak untuk memajang dagangan.
"Two atau three ini mengacu ke kerjanya kita. Kalau 3 in 1 kita bolak-balik. Berarti kita ngeluarin pagi, sama pedagang dibongkar, di-display. Kita masukin lagi (ke gudang), jam enam maghrib kita siapin lagi gerobak kosong itu (ke lokasi lapak). Jam sembilan malam dikemasin lagi masuk ke gudang," paparnya.
Lebih menguras tenaga memang. Tapi demi upah ekstra mau tak mau Kuat cs wajib melakoninya. Setiap Rupiah di mata para pendorong sangatlah berharga.
Khusus tipe 2 in 1, para pendorong gerobak mendapat upah Rp30 ribu untuk jasa antar jemput plus bongkar muat barang. Sedangkan 3 in 1 cuma selisih Rp5 ribu lebih mahal. Namun tarif jasa bisa sedikit bervariasi tergantung ukuran gerobak.
"Ada yang model bayar harian, langsung bayar. Ada yang mingguan juga bulanan," imbuh warga asli Sosronenduran yang kini beralamat tinggal di Murangan, Triharjo, Sleman ini.
Pemasukan sebenarnya juga bisa dibilang tak menentu. Karena tidak semua PKL berdagang tiap hari atau hanya di momen-momen tertentu saja. Waktu jelang akhir pekan lumrahnya jadi yang paling sibuk.
Kuat sendiri dipasrahi mengurus 21 gerobak. Terbanyak, ada pendorong yang sampai menyewakan jasanya hingga 60 unit gerobak lebih. Mereka lebih layaknya mandor yang sudah memiliki karyawan sendiri.
"Satu orang biasanya megang 12 gerobak. Tapi kebutuhan ekonomi mendesak ya sampai 21. Saya sampai divonis kena jantung berapa tahun kemarin karena memforsir. Sudah saya kurangi untuk gerobak-gerobak besar. Kerjaan kami ini sampai makan korban, sudah empat meninggal karena kelelahan," bebernya.
Nasib di ujung tanduk
Sepenggal cerita Kuat tentang para pendorong gerobak ini hampir tinggal memori. Profesi yang menurutnya mulai eksis medio 90an ini terancam punah seiring kebijakan relokasi PKL Malioboro oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta yang sekarang ini mulai bergulir hingga waktu boyongan awal Februari nanti.
Total 1.838 PKL bakal direlokasi ke dua sentra baru yang diresmikan, Rabu (26/1) kemarin oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Yakni, Teras Malioboro 1 yang dulunya merupakan Gedung Bioskop Indra dan Teras Malioboro 2 di bekas kantor Dinas Pariwisata DIY sebagai shelter sementara para pedagang sampai 2 tahun ke depan.
Sultan pun melarang melarang aktivitas dagang oleh PKL di sepanjang Jalan Malioboro saat proses relokasi ini nantinya selesai. Bagi para pendorong gerobak, kebijakan ini sama saja dengan mematikan mata pencaharian mereka.
"Banyak teman-teman yang bingung dan stres, termasuk saya. Karena di tempat yang baru (Teras Malioboro 1 dan 2) kan tidak pakai gerobak lagi. Otomatis kita nganggur," kata pria 48 tahun itu.
Langkah audiensi ke DPRD Kota Yogyakarta dan DIY pun telah ditempuh. Intinya, pertama meminta para legislatif menyampaikan permohonan penundaan waktu relokasi kepada Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta sampai setelah Lebaran tahun ini.
"Kita sepaham sama PKL, karena lebaran itu jadi momen buat cari modal pulang kampung. Modal tradisi lebaran itu lah," ucapnya.
Pasalnya, para pendorong beberapa tahun ini juga sudah tertatih-tatih menghadapi imbas pandemi Covid-19 dan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Jual aset bukan hal baru bagi mereka demi nafas yang lebih panjang sebelum akhirnya mengencangkan ikat pinggang lagi.
Maklum, 85 persen anggota paguyuban mengandalkan cuan dari para PKL. Sisanya, menyambi tukang batu, tukang las, petani, dan Kuat sendiri membuka jasa servis elektronik.
Kepada Panitia Khusus (Pansus) Relokasi PKL Malioboro DPRD Kota Yogyakarta, para pendorong menyampaikan permintaan kompensasi agar bisa diberdayakan di dua Teras Malioboro sebagai petugas jaga toilet, juru parkir, maupun keamanan. Sebelum akhirnya satu suara memohon jatah lapak mempertimbangkan jangka panjangnya.
"Kalau lapak bisa buat anak-cucu kita," tutur Kuat.
Permohonan lapak ini telah disampaikan kala audiensi di DPRD DIY, Rabu (26/1) kemarin. Tiap-tiap pendorong diminta mengumpulkan fotokopi KTP sebagai bukti kesetiaan dan kekompakan profesi pendorong. Dari 91 anggota, tapi hanya 50an saja yang berpartisipasi.
"Tapi kemarin yang nggak datang ke DPRD kami anggap hangus (kesempatan pengajuan lapak). Karena sudah beberapa kali kita tatap muka, di grup WA kami minta hadir," ujarnya.
Terkait permohonan lapak ini, paguyuban sudah mencoba menjangkau jajaran Balai Kota Yogyakarta. Paguyuban pada Senin, 31 Januari 2022 besok rencananya juga akan menghadap jajaran Pemda DIY.
"Kalau saya inget ini, nasib teman-teman saya pinginnya nangis. Harus kami perjuangkan. Kalau perlu Sri Sultan saya sembah di depannya untuk memperhatikan kita. Karena ini menyangkut banyak nyawa. Maaf saya emosional, terima kasih juga untuk para pedagang yang selama ini menafkahi kita," sambungnya sambil terisak.
Kans lapak nol persen
Terpisah, Kepala Dinas Koperasi dan UKM (KUKM) DIY, Srie Nurkyatsiwi menyatakan bahwa lapak yang tersedia di Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2 sedari awal hanya diperuntukkan bagi para PKL sasaran relokasi.
"Lapak itu kan bukan untuk pendorong, tapi untuk PKL kan. Kan sudah jelas untuk siapanya, itu relokasi bagi PKL yang selama ini sudah ada di Malioboro dan legal ada di pendataan," kata Siwi saat dihubungi, Kamis (27/1).
Pemda DIY bagaimana pun tak akan menutup mata. Siwi meyakini demikian pula Pemkot Yogyakarta. Menurutnya, masih sangat mungkin bagi pemerintah memberikan program pemberdayaan bagi para pendorong gerobak yang terancam kehilangan pekerjaannya ini.
"Pemda itu kan mestinya fasilitasi masyarakat. Masyarakat dibina sesuai kompetensinya. Mereka (pendorong gerobak) itu kan kerjanya nggak cuma di situ terus. Pagi dan sore. Siangnya punya pekerjaan apa selama ini. Ini harus dipetakan. Apakah setelah ini benar-benar nggak ada pekerjaan, atau pendorong gerobak itu sampingan," papar Siwi.
Persoalan ini, kata Siwi, harus ditangani secara komprehensif dan holistik. Artinya, bukan cuma urusan Dinas KUKM semata. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain seperti Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) bisa saja dilibatkan.
"Jadi nggak bisa serta-merta anda kami kasih kerjaan ini. Maka dari itu perlu pendekatan, pembinaan, kewenangan, dan apa yang terjadi di lapangan. Pemberdayaan pastinya ada, tapi dengan syarat mau nggak ngikuti, mau praktek nggak," tutupnya. [bay]