WahanaNews.co | Korban gempa bumi warga Lubuak Sariak, Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Aslen mengatakan dirinya bersama anak dan cucu yang berjumlah delapan kepala keluarga masih tinggal di satu tenda besar. Anak-anaknya tidak ingin tinggal di dalam rumah.
Diketahui, gempa bumi bermagnitudo 6,1 yang mengguncang Pasaman Barat, Sumatera Barat, masih menyisakan ketakutan bagi sebagian korban.
Baca Juga:
Normal Fault Kerak Bumi Picu Gempa 5,4 M di Sanana Maluku Utara
Tenda-tenda masih didirikan warga sebagai antisipasi bila gempa kembali terjadi.
“Kalau gemuruh anak-anak masih takut, semua menangis,” kata Aslen, ditemui Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Begitupun Santi, dia mengungsi bersama dua anak dan suami di halaman kantor Bupati Pasaman Barat. Santi sempat mengajak anaknya yang berumur 11 tahun kembali ke rumah untuk sekadar menyelamatkan barang yang tersisa, Namun anak-anaknya enggan kembali.
Baca Juga:
Gempa M 6,4 Guncang Gorontalo Dini Hari, BMKG: Tak Ada Ancaman Tsunami
Anak-anak menjadi salah satu golongan yang rentan terdampak ketakutan pascabencana.
“Sudah sempat saya ajak pulang, dia enggak mau, kayaknya trauma,” ungkap Santi.
Dia pun mengatakan masih takut dengan gempa susulan. Jika terjadi gempa susulan, dia akan langsung lari.
Demikian juga Safri, pengungsi lainnya, dia masih takut jika dengan gempa susulan. Di halaman rumah panggung, Safri memasang terpal sebagai tenda dan membawa kompor untuk memasak.
Selain dihuni oleh keluarga dekat, rumah panggung Safri menjadi tempat mengungsi bagi warga sekitar. Dia memperkirakan sekitar 40 atau 50 orang yang menghuni rumahnya.
Dokter Arini Retno Palupi dari Tim Humanity Medical Sevices ACT mengatakan, ketakutan pascabencana memang lazim terjadi. Namun, hal ini juga penting untuk diatasi.
“Terutama untuk anak dan ibu yang memang kebanyakan mengalami panik dan gangguan cemas. Maka kita perlu berikan dukungan agar tidak berkelanjutan menjadi sebuah gangguan kesehatan mental,” ujar Arini.
Dia menambahkan, tim Humanity Medical Services ACT tidak hanya menjaga kesehatan fisik, tapi juga memberikan layanan psikososial bagi penyintas.
“Kami sebut dengan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa. Biasanya kami adakan setelah 2 pekan pascagempa. Kami akan bekerja sama dengan psikolog dan psikiater untuk bisa mengadakan kegiatan ini,” ungkap Arini. [rsy]