WahanaNews.co | Sabar Lampos Purba, Ketua
Kelompok Kerja (Pokja) Pengerjaan Proyek Peningkatan Jalan
Parbotihan-Pulogodang-Temba, Kabupateng Humbang Hasundutan (Humbahas), Tahun
Anggaran 2016, menggugat Jaksa Agung casus
quo Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatera Utara (Sumut).
Gugatan tersebut dilayangkan melalui Pengadilan Negeri (PN) Medan karena
Sabar Lampos Purba, selaku pemohon, menilai bahwa termohon, Kajati Sumut, telah
melakukan langkah hukum yang melampaui kewenangannya.
Baca Juga:
Progres Pembangunan Gedung Unipi Persis di Bandung Capai 41%i
Pada persidangan di Ruang Cakra 8 PN Medan, Selasa (23/3/2021), tim
kuasa hukum pemohon, yang terdiri dari Maruli M Purba, Roy Noven Harold
Sianturi, dan Boyke Ferdinandus Sirait, menyampaikan materi gugatannya.
Disebutkan, penetapan klien mereka sebagai tersangka dinilai melampaui
kewenangan termohon.
Di hadapan hakim tunggal Immanuel Tarigan, tim kuasa hukum pemohon
menyampaikan 3 hal prinsipil yang telah dilampaui termohon.
Baca Juga:
Kementerian PU Akan Lakukan Preservasi dan Rekonstruksi Jalan Nasional Untuk Mendukung Akses Pelabuhan Tanjung Emas Semarang
Pertama, mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, saat itu pemohon menjabat sebagai Ketua Pokja berdasarkan SK
Pengangkatan dari Ketua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Faktanya, pemohon telah menjalankan tugasnya, yakni pelaksanaan tahapan
(verifikasi administrasi tender) dengan baik, hingga terpilihnya pemenang.
Artinya, kewenangan pemohon, berikut keempat anggota Pokja lainnya,
telah selesai dan tidak terlibat dengan pelaksanaan atau pengerjaan proyek di
lapangan.
Terkait hal itu, pada saatnya nanti, tim kuasa hukum pemohon akan
menghadirkan alat bukti.
Kedua, hingga permohonan praperadilan ini dibacakan di PN Medan, tim
kuasa hukum pemohon tidak pernah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan
(SPDP).
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130/PUU-XII/I/2015
tanggal 11 Januari 2017, penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP
kepada pemohon dalam waktu paling lambat 7 hari.
Namun, faktanya, hingga permohonan praperadilan ini dibacakan dalam
persidangan, Sabar Lampos Purba sama sekali tidak pernah menerima SPDP tersebut.
Ketiga, penetapan pemohon sebagai tersangka didasarkan pada dua Surat
Perintah Penyidikan (Sprindik), yakni yang dikeluarkan oleh Kajari Humbahas dan
Kajati Sumut (termohon).
"Sprindik yang dikeluarkan oleh Kajari Humbahas sudah dibatalkan oleh
putusan praperadilan di PN Tarutung," kata tim kuasa hukum pemohon.
Kemudian, sesuai Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor SE-021/A/JA/09/2015
tanggal 2 September 2015, pada angka 2 huruf (a), dinyatakan bahwa terhadap
penetapan tersangka tidak diperlukan Sprindik baru, kecuali ditemukan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang selain yang telah dicantumkan
dalam Sprindik awal.
Namun, faktanya, dalam perkara ini, sangkaan pasal dugaan tindak pidana
korupsi sebagaimana disebut dalam Sprindik dari termohon (Kajati Sumut) tanggal
15 Oktober 2020, sama persis dengan Sprindik dari Kajari Humbahas tanggal 19
Februari 2020 yang sudah dibatalkan oleh putusan peraperadilan di PN Tarutung.
Sehingga, Sprindik yang diterbitkan termohon (Kajati Sumut) itu
bertentangan atau tidak sesuai dengan Surat Edaran Jaksa Agung tadi.
Maka, penetapan Sabar Lampos Purba sebagai tersangka pun harus
dinyatakan tidak memiliki pijakan atau landasan hukum yang memadai.
"Namun, kenapa masih dihidupkan atau dijadikan salah satu dasar dari
terbitnya surat penetapan tersangka terhadap pemohon praperadilan (Sabar Lampos
Purba)," pungkasnya.
Hakim Immanuel Tarigan kemudian memutuskan untuk melanjutkan persidangan
pada hari ini, Rabu (24/3/2021), dengan agenda mendengarkan tanggapan dari tim
kuasa hukum termohon.
Usai sidang, kuasa hukum Sabar Lampos Purba, Maruli M Purba,
menguraikan, mengacu pada UU Administrasi Negara, bila ditemukan kesalahan administrasi
dalam proses lelang, hal itu harus didasari oleh hasil pemeriksaan internal (Inspektorat).
Lalu, kata Maruli, mengacu pada turunan dari regulasi tersebut, yakni
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administrasi kepada Pejabat Pemerintahan, bila ditemukan kesalahan
administrasi yang berpotensi tindak pidana, maka pengawas internallah yang
meneruskan perkaranya ke aparat penegak hukum. [dhn]