Oleh YUKIE H. RUSHDIE
Baca Juga:
Resmi! AHY Umumkan Dewan Pakar Demokrat, Ada Andi Malarangeng dan Rachlan Nashidik
DALAM hitungan tak lebih dari 4 jam alias 240 menit
atau 14.400 detik, dua peristiwa penting terjadi di Jakarta, Rabu (31/3/2021).
TKP-nya
juga relatif berdekatan. Yang satu di Jalan HR Rasuna Said, dan satunya lagi di
Jalan Trunojoyo.
Baca Juga:
Tanggapi RUU TNI, Andi Arief Ingatkan Dulu Ada Jendral Aktif yang Tangani Bencana dan Covid
Sama-sama di
wilayah Jakarta Selatan. Dan, menurut Google
Maps, jarak keduanya hanya sekitar 8,1 km.
Di Jalan HR
Rasuna Said, yang lebih populer dengan sebutan Jalan Kuningan, tepatnya di
Kantor Kemenkumham RI, Yasonna Laoly mengumumkan sikap pemerintah terhadap
kisruh Partai Demokrat.
Disebut "pengumuman",
karena di sana tidak disediakan forum untuk berdebat atau saling sanggah.
"Kalau
tidak menerima, silakan ajukan gugatan ke pengadilan," kata Yasonna, saat itu.
Sekitar
pukul 12.30 WIB, lewat sebuah konferensi pers yang difasilitasi oleh aplikasi Zoom (sang "bayi ajaib" di era
Covid-19), Menkumham Yasonna Laoly berujar lantang bahwa pemerintah menolak
untuk mensahkan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang,
Sumatera Utara, 5 Maret 2021.
Diketahui,
forum KLB yang dimotori sejumlah tokoh senior Partai Demokrat itu, seperti Jhoni
Allen Marbun, Max Sopacua, Marzuki Alie, Muhammad Nazaruddin, dan lain-lain,
memutuskan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Jenderal TNI (Purn) Moeldoko,
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2025.
Sesuai proses
awalnya, tentu saja gelaran KLB itu ditentang kubu Ketua Umum Partai Demokrat,
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bahkan levelnya disebut lebih rendah dari
sekadar "arisan".
Bila
sebelumnya sekadar adu omong di media, maka pasca-KLB itu kondisi Partai
Demokrat pun "sah terbelah".
Dikatakan "sah
terbelah", karena kemudian kedua kubu sama-sama menyampaikan laporan dan
permohonannya secara resmi ke kantornya Yasonna Laoly, Kemenkumham RI.
Kubu Moeldoko
memohonkan pengesahan hasil KLB, sementara pihak AHY meminta penolakan terhadap
forum yang katanya "abal-abal" tersebut.
Lantas,
apakah pengumuman yang terlontar dari celah-celah bibir Yasonna Laoly tadi
merupakan ujud dukungan pemerintah terhadap kubu AHY?
Sepintas,
memang terlihat seperti begitu. Terbukti, segenap kader Partai Demokrat beserta
AHY-nya sekaligus, sontak berucap: "Terima kasih, Pak Jokowi!"
Namun,
secara formal, keputusan pemerintah itu semata-mata demi menjaga kewibawaan
produk administrasi negara terbitan Kemenkumham, yakni Surat Keputusan
Kementerian Hukum dan HAM Nomor M.HH-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan
Perubahan AD-ART Partai Demokrat tertanggal 18 Mei 2020, yang sekaligus mendasari
pengakuan pemerintah terhadap AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Dengan kata
lain, jika pemerintah mengabulkan permohonan kubu Moeldoko, itu sama saja
dengan menginjak-injak produk administrasi negara yang diterbitkan Kemenkumham.
Maka,
pernyataan Yasonna Laoly, yang mempersilakan kubu Moeldoko mengajukan gugatan
ke pengadilan, bisa juga ditangkap sebagai isyarat agar pihak KLB mengupayakan
dulu pembatalan terhadap produk administrasi negara tersebut, kalau memang mau
disahkan.
Prediksi
lanjutannya, bila proses hukum terhadap legalitas AD-ART dan kepengurusan Partai
Demokrat itu berkepanjangan, katakanlah hingga menyeberang ke tahun 2022,
apalagi kalau sampai 2023, ini bakal jadi PR rumit bagi Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
Pasalnya,
pada situasi seperti itu, bukan mustahil bakal muncul polemik baru terkait
kelayakan Partai Demokrat untuk menjadi peserta pada ajang Pemilu 2024.
Wajarlah
kalau kemudian sejumlah analis berpendapat, target utama KLB Deli Serdang itu sebenarnya
bukanlah menjadikan Moeldoko sebagai Ketua Umum, namun menjegal keikutsertaan
Partai Demokrat di Pemilu 2024.
Artinya,
target terujung dari kisruh ini adalah "Pemilu 2024 Tanpa Partai Demokrat"!
Bila
kondisi ke arah sana sudah kian mengancam, maka solusinya hanya satu:
rekonsiliasi, seperti halnya Partai Golkar beberapa tahun silam atau Partai
Berkarya belum lama ini.
Itu baru
soal yang terjadi di Kantor Kemenkumham RI, Jalan HR Rasuna Said, yang berpotensi
mengubah peta politik nasional dalam beberapa tahun ke depan.
Lantas, apa
yang terjadi di Jalan Trunojoyo, sekitar 14.400 detik kemudian?
Baru juga
sejumlah media menyiapkan laporan soal "detik-detik Moeldoko ditolak",
tiba-tiba mereka harus menyusun tentang "detik-detik" yang lain, yakni "detik-detik
Zakiah Aini ditembak".
Ya, di
Jalan Trunojoyo itu, tepatnya di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia,
terjadi sebuah aksi yang dalam istilah Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit
Prabowo, disebut lone wolf.
Seorang
perempuan berpakaian serba tertutup, yakni gamis hitam dan kerudung biru dengan
penutup sebagian wajah yang tidak mengundang kecurigaan berkat Covid-19, lolos
dari pos penjagaan Mabes Polri yang ketat, padahal membawa sepucuk senjata api.
Masuk akal
juga, dengan penampilan seperti itu, tentunya akan sangat berisiko bila petugas
di pos jaga gerbang masuk Mabes Polri, yang umumnya pria atau bukan Polwan,
melakukan pemeriksaan ketat dengan penggeledahan ke bagian tubuh.
Bisa-bisa
kena tuduhan pelecehan seksual kalau feeling-nya
meleset dan tidak ditemukan hal yang melanggar hukum.
Apalagi,
sesuai prosedur umum, langkah pemeriksaan lanjutan yang ketat hanya dilakukan secara
random, berdasarkan tanda-tanda awal yang bisa membangkitkan kecurigaan di
pihak petugas.
Setelah
beberapa saat terlihat mondar mandir di dalam lingkungan Mabes Polri, perempuan
yang kemudian diketahui bernama Zakiah Aini (25) itu mengeluarkan senjata
apinya, menodongkan ke arah petugas yang berada di pos jaga, lalu menembak ke
sana ke mari hingga katanya tercatat sebanyak enam kali, dan akhirnya jatuh
tersungkur tak jauh dari gedung tempat Kapolri berkantor.
Hasil
otopsi menyebutkan, Zakiah Aini tewas akibat peluru yang bersarang di jantungnya.
Jadi, soal
motif dia menyerang Mabes Polri pun tentu takkan mungkin lagi terkorek secara
langsung dari mulutnya, dan hanya bisa diraba berdasarkan temuan-temuan
lanjutan.
Aksi lone wolf Zakiah Aini itu menjadi kian
seksi karena hanya berselang tiga hari dari bom bunuh diri pasangan suami-istri
di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021).
Dari dua
kejadian yang hanya berselang sekitar 14.400 detik itu, kesiagaan nasional Indonesia
menghadapi ujian tak kecil.
Bedanya,
yang satu bersumber dari manuver orang-orang bernama besar dengan latar
belakang persoalan relatif lebih transparan atau setidaknya mudah dikorek
(karena tak ada pelakunya yang tewas).
Sementara,
yang kedua dilakukan orang tak dikenal (OTK) dengan latar belakang persoalan
relatif lebih misterius atau setidaknya tak bisa lagi dikorek secara langsung
dari mulut pelakunya (karena sudah tewas).
Apapun
ceritanya, kini Indonesia memang harus betul-betul siaga terhadap potensi
gejolak politik maupun sosial-ideologis di waktu-waktu dekat ini, terutama
jelang era perubahan besar di 2024.
Perubahan
besar?
Ya, secara
kekinian, konstitusi memang masih bicara bahwa di tahun 2024 nanti Indonesia
akan mencari pemimpin baru. Joko Widodo alias Jokowi harus berakhir, tak bisa
lagi berlanjut.
Kalaupun
ternyata kemudian konstitusi mengizinkan Jokowi berlanjut, itu tetaplah sebuah
perubahan besar. Era baru selepas kebijakan Presiden dua periode pasca Reformasi
1998.
Dan, secara
historis, mulai dari 1945, 1966, dan 1998, Indonesia selalu berhadapan dengan suatu
situasi yang sangat mencekam setiap kali memasuki era perubahan besar.
Namun,
harap dicatat, pernyataan pada alinea di atas itu bukanlah sebuah harapan,
melainkan ajakan atas nama kewaspadaan. Kesiagaan nasional" (Yukie H. Rushdie, Dewan Redaksi WahanaNews)-dhn