WAHANANEWS.CO, Sleman - Sebuah surat perjanjian yang beredar di Sleman langsung memantik perhatian publik karena isinya memuat larangan bagi penerima manfaat Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk membuka suara jika terjadi keracunan.
Surat yang menggunakan kop Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kalasan, Sleman, tertanggal 10/9/2025 itu menempatkan SPPG sebagai pihak pertama dan penerima manfaat sebagai pihak kedua.
Baca Juga:
Realisasi Rendah, Anggaran Makan Bergizi Gratis Bisa Ditarik Menkeu
Dalam tujuh poin kesepakatan, tercantum aturan mengenai durasi kerja sama, mekanisme pelaksanaan MBG, hingga kewajiban mengganti atau membayar Rp80 ribu apabila alat makan seperti ompreng atau food tray hilang.
Poin ke-7 menjadi sorotan karena menyebutkan penerima manfaat berkomitmen menjaga kerahasiaan informasi jika terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) berupa dugaan keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau masalah serius lainnya.
"Apabila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti dugaan keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau masalah serius lainnya, Pihak Kedua berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga Pihak Pertama menemukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan mencari solusi terbaik demi kelangsungan program ini," demikian bunyi kesepakatan itu.
Baca Juga:
Pemerintah Akui dan Minta Maaf, Kasus Keracunan MBG Terus Berulang di Berbagai Daerah
Ada pula poin lain yang menuliskan mekanisme pengembalian alat dan tempat makan setelah situasi stabil pascabencana, dengan terlebih dahulu dilakukan inventarisasi oleh penerima manfaat.
"Demikian surat perjanjian kerja sama ini dibuat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Selanjutnya surat perjanjian ini akan bersifat mengikat selama masa berlakunya. Jika terjadi perselisihan selama masa perjanjian, akan diselesaikan secara mufakat. Jalur hukum akan ditempuh apabila kedua belah pihak tidak menemui titik mufakat," tulis penutup dokumen tersebut.
Bupati Sleman, Harda Kiswaya, pada Sabtu (20/9/2025) mengaku baru mengetahui adanya surat itu, termasuk isi poin-poin yang dianggap kontroversial.
Meski begitu, Harda menilai semestinya kasus keracunan akibat MBG tidak boleh ditutup-tutupi karena justru membatasi ruang evaluasi. Ia menegaskan keterbukaan informasi akan lebih sehat bagi perbaikan program.
"Yo menurut saya nggak baik (dirahasiakan), evaluasi itu kan bisa dari masyarakat, bisa dari organisasinya itu yang dibentuk melalui unit-unitnya. Dan menurut saya kalau dari masyarakat jauh lebih baik, karena murni tanpa tendensi apa pun. Ya kita harus mengakui kalau ada kelemahan, harus kita perbaiki," ujar Harda.
Ia menambahkan, solusi paling tepat bukanlah menutup informasi, melainkan memastikan agar kasus keracunan MBG tidak kembali terulang.
Terpisah, Sekda Sleman, Susmiarta, pada hari yang sama mengaku baru mengetahui surat tersebut. Ia menuturkan belum jelas siapa pihak yang merumuskan isi perjanjian itu.
"Perlu klarifikasi dengan BGN," kata Susmiarta, merujuk pada Badan Gizi Nasional sebagai pelaksana program MBG.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]