Saat itu, Rejo Handoyo dipilih untuk mengikuti pelatihan di
Bandung selama dua hari. Di sana, dia digembleng tentang bagaimana cara kerja
mesin pembangkit, bagaimana pengoperasian, perawatan, serta perbaikannya.
Ketika pulang, dialah yang memegang tanggung jawab terbesar untuk merawat dan
mengoperasikan mesin pembangkit.
Dua hari tentu waktu yang sangat sebentar untuk memahami
ilmu tentang kelistrikan, apalagi tentang pembangkit. Akhirnya, pengalaman
adalah guru yang telah membimbingnya hingga menjadi mahir seperti sekarang.
Baca Juga:
PLN dan Pemkot Operasikan SPKLU Khusus Angkot Berbasis Listrik di Kota Bogor
Rejo juga harus membayar mahal proses belajarnya itu. Satu
dinamo 22 KVA pernah hangus, televisi LCD dan dua speaker aktif miliknya juga
rusak gegara tegangan dan arus yang belum stabil pada masa-masa awal.
Untungnya Rejo adalah orang yang bandel, dia tidak kapok
meski sudah rugi banyak. Masalah demi masalah itulah yang justru membuatnya
semakin mahir dan berpengalaman.
"Karena saya korban TV sama speaker aktif itu makanya warga
banyak yang takut untuk pakai PLTMH. Tapi pelan-pelan kami kasih pengertian,
kalau sekarang listriknya sudah stabil sehingga hampir semua warga sekarang
pakai mikro hidro," kata Rejo.
Baca Juga:
PLN dan Kementerian ESDM Cek Kesiapan SPKLU di Banten untuk Kelancaran Layanan Arus Mudik
Sebenarnya pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan
seperti di Kedungrong sudah banyak dibuat di tempat-tempat lain. Tapi, hanya
sedikit yang bisa bertahan lama. Sementara yang bisa bertahan sampai delapan
tahun lebih seperti PLTMH Kedungrong mungkin hanya hitungan jari.
Padahal, teknisi pengelola PLTMH Kedungrong hanya ada dua
orang, Rejo Handoyo dan Widarto. Setiap sore, mereka selalu membersihkan kincir
air dari sampah-sampah yang menyangkut. Mereka yang merawat mesin pembangkit
dan memperbaikinya ketika mengalami kerusakan, tanpa imbalan.
Tanpa Rejo dan Widarto, PLTMH Kedungrong mungkin akan
bernasib sama dengan pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan lainnya.