WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ribuan siswa di Bandung Barat akhirnya mendapat jawaban terkait penyebab keracunan massal yang menimpa mereka, setelah Tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional (BGN) memastikan biang keladinya adalah kadar nitrit yang sangat tinggi dalam makanan yang dikonsumsi.
Kesimpulan itu disampaikan Ketua Tim Investigasi Independen BGN Karimah Muhammad dalam keterangan resmi di Jakarta pada Jumat (3/10/2025).
Baca Juga:
Puluhan Pelajar Keracunan MBG, Gubernur Sumbar Hentikan Dapur SPPG di Agam
“Kami berkesimpulan, senyawa nitrit menjadi penyebabnya,” tegas Karimah.
Ia menjelaskan, tim melakukan investigasi dengan memeriksa korban secara langsung, menemui tenaga medis di Puskesmas Cipongkor dan RSUD Cililin, mempelajari gejala klinis yang muncul, hingga meneliti hasil uji mikrobiologi dan toksikologi dari Labkesda Jawa Barat.
Dari hasil tersebut, ditemukan kadar nitrit sangat tinggi pada sampel buah melon dan lotek yang dikonsumsi siswa.
Baca Juga:
Keracunan Massal MBG, BPOM Temukan 13 Kelalaian Fatal di SPPG
Menurut Karimah, kadar nitrit yang terdeteksi mencapai 3,91 dan 3,54 mg/L, padahal standar internasional jauh lebih rendah, yaitu hanya 1 mg/L menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) dan 3 mg/L menurut otoritas kesehatan Kanada.
“Kalau merujuk standar EPA, kadar nitrit dalam sampel hampir empat kali lipat dari batas maksimum,” ujarnya.
Nitrit memang secara alami terkandung dalam buah dan sayuran, namun kadarnya bisa melonjak akibat aktivitas bakteri yang mengubah nitrat menjadi nitrit.
Gejala yang dialami korban pun sesuai dengan ciri keracunan nitrit, seperti mual, muntah, dan nyeri lambung sebanyak 36 persen, pusing akibat pelebaran pembuluh darah sebanyak 29 persen, hingga lemas dan sesak napas karena terganggunya penyaluran oksigen dalam darah.
Menariknya, gejala diare yang biasanya dominan dalam kasus keracunan makanan justru hanya muncul pada 3 persen korban.
Tim investigasi juga menegaskan tidak ditemukan bakteri berbahaya penyebab keracunan makanan, seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, maupun Bacillus cereus, serta tidak ada racun lain seperti sianida, arsen, logam berat, atau pestisida.
Karimah menambahkan bahwa efek nitrit tidak sama pada setiap orang, karena zat tersebut bisa tersebar tidak merata dalam makanan, sehingga anak dengan daya tahan tubuh kuat mampu mendetoksifikasi lebih cepat, sementara yang rentan bisa mengalami gejala berat.
Tingginya jumlah korban, kata Karimah, dipengaruhi adanya imbauan agar semua penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merasa sakit segera datang ke puskesmas atau RSUD untuk mendapatkan pemeriksaan gratis, sehingga tidak semua yang tercatat benar-benar mengalami keracunan serius.
Dari total 1.315 pasien, hanya 7 persen yang harus dirawat inap, sementara 93 persen lainnya cukup diberi obat ringan dan langsung pulang.
Obat yang diberikan di antaranya parasetamol, ondansetron untuk muntah, dan omeprazole untuk nyeri lambung, sedangkan pasien rawat inap sebagian mendapat cairan infus dan obat tambahan.
Tercatat tidak ada pasien yang membutuhkan obat antikejang, sebab gejala seperti kejang pada sebagian siswa sebenarnya hanyalah kram akibat nyeri lambung.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]