WahanaNews.co | Sanksi mutase atau dipindah ke sekolah lain yang kerap dijatuhkan kepada tenaga pendidik yang menjadi pelaku kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah mendapat sorotan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Landasan aturan penerapan sanksi yang dijatuhkan dinas pendidikan daerah ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Baca Juga:
Mensos Minta Pelaku Kekerasan Seksual di Sekolah Harus Dihukum Berat
"FSGI mengamati bahwa selama ini, jika terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh pendidik, maka acuan hukuman yang biasanya digunakan adalah PP Nomor 53 Tahun 2010. Tidak ada peraturan lain yang terkait mutasi khusus bagi guru yang merugikan peserta didik kecuali PP Nomor 53 Tahun 2010 tersebut," kata Ketua Tim Kajian Hukum FSGI Guntur Ismail dalam keterangannya kepada media, Senin (20/2/2023).
Guntur mengungkapkan, Dinas pendidikan di Indonesia umumnya menggunakan peraturan yang berlaku umum yaitu peraturan kepegawaian dalam menangani kasus-kasus pelecehan.Dengan begitu, yang dihukum dalam hal ini bukan jabatan gurunya melainkan pegawainya.
Sementara, dalam hukum kepegawaian tidak ada hukuman penjara.
Baca Juga:
Petinggi Partai di Kota Bekasi Diduga Lakukan Kekerasan Seksual, Begini Kronologinya
Maka, ketika dalam suatu kasus sang korban tidak melapor ke polisi terkait perbuatan pelecehan seksual, kerap kali sanksi yang dijatuhkan adalah berupa mutasi.
Padahal, menurut dia, mutasi sejatinya bukanlah hukuman, tetapi untuk promosi jabatan atau atas keinginan si pegawai sendiri.
"Dampaknya untuk sejumlah kasus, si guru pelaku mengulangi perbuatan yang sama kelak di kemudian hari di tempat bertugasnya yang baru dengan korban anak yang lain, artinya tidak ada efek jera dengan hukuman mutasi," jelasnya.
Sebagai catatan, ahun 2023 baru berjalan sekitar satu setengah bulan. Namun, ternyata sudah ada 10 kasus dugaan kekerasan seksual di sekolah atau satuan pendidikan, berasrama maupun tidak, dengan 86 anak sebagai korban.
Sejak awal Januari hingga 18 Februari 2023, 9 kasus tercatat sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan semua dalam proses penanganan oleh kepolisian, sedangkan 1 kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan memindahkan kelas mengajar dan pengurangan jam mengajar oknum guru pelaku.
Sebanyak 50 persen kasus kekerasan seksual terjadi dijenjang SD/MI, 10 persen di jenjang SMP, dan 40 persen di Pondok Pesantren.
Pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan ada 10 orang, semuanya laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu Pimpinan Ponpes dan Guru sebagai pelaku merupakan jumlah terbesar, yaitu masing-masing sebanyak 40 persen, Kepala Sekolah dan Penjaga sekolah masing-masing 10 persen.
Sedangkan korban total 86 anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki sebanyak 37,20 persen dan korban anak perempuan mencapai 62,80 persen.
Adapun wilayah kejadian berada di 5 provinsi dan 10 kabupaten/kota, yakni Kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara, dan Lampung Barat di Provinsi Lampung; Kabupaten Batang dan Kota Semarang di Jawa Tengah; Kabupaten Gunung Kidul di DI Yogyakarta; Kabupaten Jember di Jawa Timur; serta Kota Jakarta Timur di DKI Jakarta. [Tio/Ant]