WahanaNews.co | Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, program pendidikan vokasi di Tanah Air masih kurang diminati karena masih ada yang beranggapan bahwa kalau ingin punya derajat harus mengantongi ijazah, baik di tingkat SMA dan sarjana.
“Kemudian ini menjadi pameo yang terus-terusan melekat di dalam orang tua sehingga anak dipaksa masuk ke pendidikan reguler,” katanya, Kamis (23/2/2023).
Baca Juga:
SMKN 1 Lumut Bertransformasi Menjadi BLUD, Siap Kembangkan Teaching Factory
Hal lain juga, dulu banyak sekali dilakukan pembukaan SMK yang justru menyebabkan banyak SMK tersebut tertinggal karena hanya memiliki gedung bangunan ruko tanpa dilengkapi sarana prasarana dan tenaga pelatih.
Hal itu menyebabkan lulusannya tidak terserap di dunia kerja dan menyumbang angka pengangguran yang signifikan.
“Di bidang perguruan tinggi, hal yang sama juga terjadi. Selain itu juga tidak ada link and match antara kebutuhan skill di pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri dan dunia kerja,” tukasnya.
Baca Juga:
Tanpa Kolaborasi dengan Industri, Pendidikan Vokasi Tidak akan Sukses
Perkembangan dunia industri terjadi sangat cepat. Sedangkan, sarana dan prasarana di dunia pendidikan tidak berkembang dengan cepat. Di dunia industri, terjadi perkembangan mulai dari 3.0 kemudian 4.0 bahkan sudah masuk otomatisasi, robotisasi dan virtual engine. Namun sarpras di dunia pendidikan masih stagnan.
“Industri lebih cepat berkembang ketimbang dunia pendidikan vokasi. Pendidikannya masih disitu, industrinya berkembang,” ungkapnya.
Kendala lain adalah tenaga pelatih di vokasi sulit mengembangkan karier karena mereka harus bersertifikasi industri dan pengembangan sarjananya harus S3.
Sementara saat ini, rata-rata tenaga pelatih baru S2 dan S1. Kemudian juga soal daya serap industri pun tidak sebanding dengan jumlah lulusan. Kalau lihat database tiap tahun ada 1,8 juta lulusan perguruan tinggi diploma dan sarjana.
Jadi daya serap dunia usaha dan industri rata-rata hanya 300-400 ribu, sisanya rata-rata tidak sesuai dengan kompetensi.
"Oleh karena itu, disinilah peran vokasi menjadi sangat penting untuk pengembangan kemampuan diri yang sesuai kompetensi yang dibutuhkan. Jadi perlu ada kerja sama antara dunia usaha dan industri untuk demand and suplay,” tegasnya.
Dunia usaha dan industri menjelaskan pada dunia pendidikan mengenai jumlah kebutuhannya. Jumlah itu kemudian difokuskan pada bidang yang diperlukan.
Kebutuhan tersebut kemudian disampaikan ke dunia pendidikan dalam hal ini Kemendikbud dan diserahkan kepada dunia pendidikan untuk mensuplai sehingga mencetak jumlah yang tidak jauh dari kebutuhan tersebut.
“Sehingga SMK dan poltek bisa kerja langsung dengan dunia usaha. Karena kan tujuan pendidikan vokasi adalah terserap dunia kerja. Konteksnya 70 persen terserap di dunia kerja,” katanya.
Yang bisa dilakukan pemerintah adalah kerja sama dengan berbagai pihak misalnya dengan dunia usaha, kementrian, KADIN, HIPMI dan lainnya. Semua pihak harus bicara soal demand dan suplai yang dibutuhkan kemudian melakukan link and match mengenai kebutuhan skill apa yang diperlukan.
“Pengajaran apa yang dibutuhkan. Jangan mengajarkan di dunia vokasi sesuatu yang tidak dibutuhkan di sektor industri atau dibawah kualifikasi. Untuk kurikulumnya yaitu dengan teaching factory yang sesuai dengan kebutuhan industri. Kurikulum sesuai dengan kebutuhan factory sehingga siswa sudah terbiasa dengan terbiasa factory,” pungkasnya. [Tio/Ant]