WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang menarik perhatian banyak pihak, terutama dalam konteks pendidikan dan hak anak. Dalam kebijakan ini, Dedi Mulyadi memutuskan untuk melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pembinaan siswa yang dianggap berperilaku nakal.
Siswa yang terlibat dalam berbagai tindakan negatif seperti tawuran, geng motor, bolos sekolah, merokok, atau melawan orang tua akan dibina melalui program yang dilakukan di barak militer.
Baca Juga:
Kemendagri Ungkap 400 Ribuan PNS Masuk Kategori 'Miskin'
Dalam sebuah pernyataan resmi, Dedi Mulyadi mengungkapkan, "Kami ingin memberikan pendidikan yang lebih disiplin kepada siswa yang berperilaku nakal dengan cara yang lebih keras, namun tetap mendidik. Kerjasama ini merupakan langkah yang penting untuk menjaga ketertiban dan masa depan generasi muda Jawa Barat."
Kebijakan ini dimulai dengan Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat pada 14 Maret 2025, yang mengatur Sinergi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Manunggal Karya Bakti Skala Besar Pembangunan Daerah.
Dedi Mulyadi kemudian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 43/PK.03.04/Kesra yang merinci sembilan langkah pembangunan pendidikan yang diharapkan dapat mengarah pada tercapainya 'Gapura Panca-Waluya.'
Baca Juga:
Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah oleh Kementerian Dalam Negeri
Namun, kebijakan ini menuai banyak kritik, terutama terkait dengan legitimasi dan keabsahannya dalam kerangka hukum.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.
Kritikus berpendapat bahwa kebijakan Dedi Mulyadi yang melibatkan militer dalam pembinaan siswa di barak militer justru bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
Seorang ahli pendidikan menyatakan, "Pendidikan harus dilakukan oleh para pendidik yang terlatih, bukan oleh aparat militer. Kebijakan ini tidak hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga mengabaikan sistem pendidikan yang sudah diatur oleh para ahli."
Lebih jauh, kebijakan ini juga dipertanyakan terkait pelanggaran hak asasi anak.
Pembinaan siswa di barak militer dikhawatirkan akan berisiko mengarah pada pelanggaran hak-hak anak, seperti intimidasi, diskriminasi, kekerasan fisik atau psikis, dan pemaksaan kehendak.
"Tidak ada jaminan bahwa siswa yang dibina di barak militer akan mendapat perlakuan yang sesuai dengan hak-hak dasar mereka," ujar Rezekinta Sofrizal, Direktur Eksekutif LBH Pendidikan Indonesia, dalam keterangan tertulis yang diterima WAHANANEWS.CO, Senin (12/5/2025).
Sebagai respons terhadap kebijakan tersebut, Adhel Setiawan, salah satu orang tua murid, mendesak agar Kementerian Dalam Negeri segera memberikan sanksi kepada Dedi Mulyadi dan kepala daerah lainnya yang menerapkan kebijakan serupa.
"Jika kebijakan ini tetap dijalankan, kami akan menempuh jalur hukum," tambahnya.
Kementerian Dalam Negeri diminta untuk mempertimbangkan kebijakan tersebut dengan hati-hati dan tidak terburu-buru mengambil keputusan yang berpotensi melanggar hak asasi anak.
Selain itu, pembinaan siswa yang bermasalah harus diserahkan kepada para pendidik yang terlatih, sesuai dengan ketentuan dalam peraturan yang sudah ada.
[Sobar Bahtiar]