WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan sedang mendalami dugaan adanya aliran dana suap kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas dalam perkara korupsi persetujuan ekspor (PE) minyak mentah kelapa sawit (CPO) untuk periode 2021-2022.
"Ini kita dalami, sedang kita telusuri," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, dalam konferensi pers yang digelar pada Sabtu (12/4/2025).
Baca Juga:
Kasus Suap CPO Kejagung Tetapkan Anggota Tim Legal PT Wilmar Jadi Tersangka
Sejalan dengan itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengonfirmasi bahwa penyidik tengah memeriksa dua hakim anggota majelis dalam perkara tersebut pada Minggu (13/4/2025).
"Yang sedang diperiksa: (Hakim) Agam Syarif Baharuddin. Kedua (hakim) Ali Muhtarom," ungkap Harli kepada wartawan melalui pesan singkat.
Selain itu, penyidik juga masih menanti kehadiran Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini, yaitu Djuyamto. Harli menyebut Djuyamto sempat muncul di kantor pada dini hari, namun belum berkoordinasi langsung dengan penyidik.
Baca Juga:
Dolar Dibagikan di Depan Bank, Ini Kronologi Suap Rp 60 Miliar untuk Bebaskan 3 Raksasa CPO
"Katanya tadi subuh sekira pukul 02.00 datang ke kantor tapi tidak terinfo ke penyidik. Hari ini yang bersangkutan sedang ditunggu, mudah-mudahan datang," ucap Harli.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait putusan lepas atas kasus korupsi ekspor CPO.
Keempatnya adalah Muhammad Arif Nuryanta yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Marcella Santoso dan Ariyanto yang merupakan pengacara, serta Wahyu Gunawan selaku panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Abdul Qohar membeberkan bahwa pihaknya menemukan bukti kuat adanya transaksi suap senilai Rp60 miliar.
Uang tersebut, kata Qohar, diberikan oleh Marcella Santoso dan Ariyanto yang menjadi kuasa hukum dari tiga perusahaan yakni PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group.
Menurut Qohar, uang tersebut diterima oleh Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Proses penerimaan uang dilakukan melalui Wahyu Gunawan yang saat itu bertugas sebagai Panitera Muda di pengadilan yang sama.
"Pemberian ini dalam rangka pengurusan perkara agar Majelis Hakim yang mengadili perkara itu memberikan putusan onslag," jelas Qohar.
Dalam hukum pidana, putusan onslag berarti menyatakan perbuatan terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana.
Qohar juga menegaskan bahwa Arif Nuryanta diduga memanfaatkan posisinya sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat untuk mengatur hasil akhir putusan kepada ketiga korporasi besar tersebut.
"Jadi perkaranya tidak terbukti, walaupun secara unsur memenuhi pasal yang didakwakan, tetapi menurut pertimbangan majelis hakim bukan merupakan tindak pidana," ujar Qohar.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]