WahanaNews.co | Viral seragam mahal di Tulungagung membaut Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) angkat bicara.
P2G sangat menyesalkan praktik jual beli seragam sekolah yang sangat mahal dan membebani orang tua siswa seperti yang terjadi di Tulungagung, Jawa Timur.
Baca Juga:
Pria Ini Nekat Minum Kopi 1 Galon Bikin Netizen Khawatir
Ada lima poin kritik dan evaluasi P2G kepada pemerintah.
Pertama, P2G menemukan di masyarakat bahwa jenis seragam sekolah memang sangat beragam.
Dalam observasi P2G di lapangan, para siswa minimal memiliki 5 jenis seragam sekolah yang berbeda, yaitu seragam Putih Abu-abu (SMA/SMK) dan warna lain sesuai jenjang SD dan SMP.
Baca Juga:
Simak 3 Manfaat Ajaib Buah Naga untuk Kesehatan
Kemudian ada seragam olahraga dan juga seragam Pramuka. Siswa juga harus memakai seragam Jumat bagi yang muslim dan seragam khas daerah atau sekolah seperti batik. Lima jenis seragam sekolah tersebut ada di semua jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK.
Memandang banyaknya jenis seragam dan biaya yang tinggi terhadap pembelian seragam, P2G meminta agar Kemendikbudristek meninjau ulang Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Siswa Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
"Fakta tersebut menunjukkan betapa banyaknya seragam yang dipakai siswa. Dan pembelian seragam sebanyak itu jelas membebani orang tua. Belum lagi baju kegiatan ekstrakurikuler lain," ujar Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, melalui siaran pers, Kamis (27/7/2023).
Fakta tersebut juga membuktikan pendidikan nasional Indonesia masih membebani orang tua siswa karena berbiaya mahal.
Selain seragam sekolah, orang tua harus memenuhi kebutuhan sekolah lainnya yaitu sepatu, atribut sekolah lain, tas, dan buku. Semuanya harus dipenuhi ditambah uang pangkal dan SPP khusus sekolah swasta.
Iman mengingatkan, kebijakan yang melahirkan pemakaian seragam yang begitu banyak, tidak berkorelasi dengan mutu pendidikan.
“Silahkan cek, apa korelasi seragam sekolah yang banyak dengan peningkatan mutu pendidikan? Jangan sampai kita terlalu sibuk mengatur seragam anak, lantas mengorbankan waktu dan tenaga untuk meningkatkan kualitas pendidikan,” tegasnya.
Selain itu, menurut P2G biaya seragam yang banyak sudah seharusnya masuk dalam skema pembiayaan BOS dari pusat atau BOS Daerah. Maka aturan BOS/BOS Daerah mesti diperluas untuk seragam.
Juga bisa dengan skema lain yang dikembangkan oleb Pemda, seperti KJP Plus bagi siswa dari ekonomi tidak mampu di Jakarta.
Agar anak dari keluarga tidak mampu betul-betul mendapatkan afirmasi dan perlakuan yang adil dari negara.
Ketiga, Praktik jual beli seragam dan atribut sekolah lain selalu terjadi karena tingginya "demand" dari orang tua.
Pihak sekolah melihat ada peluang bisnis sehingga "demand and supply" terjadi. Padahal praktik jual beli seragam di sekolah dilarang berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022, khususnya pasal 13.
Keempat, Komite Sekolah sebagai wadah orang tua siswa, baik individu atau kolektif juga dilarang jual beli seragam di sekolah menurut Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah di pasal 12.
"Artinya baik guru atau orang tua dilarang melakukan praktik bisnis jual beli tersebut," jelas Anggi Afriansyah, Dewan Pakar P2G.
Kelima, P2G mendesak Dinas Pendidikan menyisir sekolah yang melakukan praktik terlarang itu. Sebab sudah bukan rahasia lagi fakta demikian berlangsung di sekolah negeri sejak lama.
"Mengapa praktik itu masih terjadi? Karena tidak adanya pengawasan dan sanksi tegas dari Dinas Pendidikan atau kepala daerah," lanjut Anggi.
Bagi P2G, seharusnya keberadaan Pengawas Sekolah berperan penting mencegahnya terulang. Tapi pengawas membiarkan dan menganggap normal.
Faktor monitoring yang hanya administratif juga menjadi penyebab, sehingga tidak ada pencegahan atau penindakan praktik jual beli seragam dari pengawas.
"Untung saja orang tua berani bicara mengangkat fakta tersebut di media sosial. P2G meminta orang tua dan siswa, jangan takut menyuarakan jika terjadi penyimpangan aturan di sekolah," pungkasnya.
[Redaktur: Zahara Sitio]