WahanaNews.co | Harga minyak goreng yang sempat naik menjadi isu ekonomi yang menjadi sorotan berbagai pihak, pemerintah mencoba mensetabilkan harga, kendati harga sudah turun tapi permasalahan di lapangan sepertinya belum mereda.
Ekonom Senior Faisal Basri menuding kenaikan harga minyak goreng dalam negeri akhir-akhir ini merupakan ulah pemerintah sendiri lewat komando 'serampangan' selama ini.
Baca Juga:
Kadin PUPR-Kaltara Dukung PSN seperti KIPI dan PLTA Mentarang di Provinsi
Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), harga minyak goreng pada Desember 2021 naik 34 persen dibandingkan Desember tahun sebelumnya, yaitu dari Rp15.792 per liter menjadi Rp21.125 per liter.
Faisal menjelaskan pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng untuk menjinakkan harga, rinciannya minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter. HET mulai berlaku pada 1 Februari 2022.
Tapi masalahnya, sambung dia, penetapan HET tidak diiringi oleh tambahan pasokan memadai sehingga harga jual masih saja mendekati Rp20 ribu per liter.
Baca Juga:
Ekspedisi Rupiah Berdaulat 2024: Eksplorasi Lima Pulau di Kalimantan Utara
"Boleh jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok yang mereka miliki diperoleh dengan harga lama. Boleh jadi pula karena memang pasokan tersendat sehingga terjadi kelangkaan di pasar," terang dia lewat blog pribadinya, faisalbasri.com, dikutip Sabtu (5/2).
Selain HET, pemerintah juga menerapkan kebijakan satu harga sebesar Rp14 ribu per liter untuk operasi pasar agar harga stabil.
Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kewajiban setoran atau domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) kepada produsen CPO dan turunannya.
Tujuannya untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng. Bahkan, kata Faisal pemerintah sempat 'menggertak' untuk melarang ekspor CPO dan turunannya.
Faisal mengatakan walau harga minyak sawit dunia melonjak, tapi volume ekspor CPO dan turunannya naik tipis dari 34 juta ton pada 2020 menjadi 34,2 juta ton pada 2021.
Kenaikan tipis volume ekspor terjadi di saat terjadi lonjakan harga dan beriringan dengan penurunan produksi CPO dari 47,03 juta ton pada 2020 menjadi 46,89 juta ton pada 2021.
Faisal menilai kenaikan harga minyak goreng di tengah penurunan produksi dan ekspor CPO dikarenakan pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Di masa lalu, pengguna CPO yang dominan di dalam negeri adalah industri pangan, termasuk minyak goreng.
Namun sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik.
Peningkatan tajam terjadi pada 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam biosolar).
"Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020 atau kenaikan sebesar 24 persen. Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020," imbuhnya.
Ia mengatakan pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu terus berlanjut pada 2021 dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi.
"Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan 2022 ini porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43 persen dari konsumsi CPO dalam negeri, padahal pada 2019 masih sekitar 37 persen. Dalam satu sampai dua tahun ke depan boleh jadi porsi untuk biodiesel akan melampaui porsi untuk industri pangan," beber dia.
Oleh sebab itu, ia menilai pengusaha cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu.
Faisal mengatakan hingga kini sudah puluhan triliun rupiah mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).
"Itulah dilema antara CPO untuk 'perut' dan CPO untuk energi. Tak pelak lagi, kenaikan harga minyak goreng adalah akibat dari kebijakan pemerintah sendiri, karena selalu ada trade off (simalakama) antara CPO untuk 'perut' dan CPO untuk energi," pungkasnya.
Sementara itu sebelumnya Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, permasalahan minyak goreng akhir-akhir ini disebabkan oleh harga CPO internasional yang tinggi akibat kebutuhan dunia juga tinggi.
Kenaikan harga CPO tersebut berpengaruh besar pada kenaikan harga minyak goreng dalam negeri. Pasalnya kendati merupakan produsen sawit utama dunia, tapi nyatanya RI selama ini belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan CPO internasional.
Oleh karena itu, Oke menjelaskan saat ini pemerintah menerapkan DMO dan DPO minyak sawit untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau. [bay]