WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengingatkan publik bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset tidak boleh disusun secara terburu-buru karena menyentuh langsung hak kepemilikan pribadi yang dilindungi konstitusi, meski di sisi lain masyarakat menuntut regulasi ini segera disahkan menyusul derasnya kasus korupsi dan kejahatan ekonomi di tanah air.
Ketua BPKN, Muhammad Mufti Mubarok, pada Senin (1/9/2025) menegaskan pentingnya kepastian hukum, akuntabilitas, serta perlindungan konsumen dalam setiap pasal yang dimuat dalam RUU Perampasan Aset.
Baca Juga:
Prabowo Dengarkan Aspirasi Tokoh Lintas Agama dan Tegaskan Komitmen Perjuangkan RUU Perampasan Aset
"Instrumen perampasan aset memang dibutuhkan untuk memulihkan kerugian negara dan menutup celah kejahatan ekonomi. Tetapi desainnya harus presisi agar tidak berbalik menimbulkan ketidakadilan bagi warga yang taat hukum," ujar Mufti dalam keterangan tertulisnya.
Mufti mengungkapkan ada sejumlah titik krusial dalam pembahasan regulasi ini, di antaranya perlunya batas tegas atas objek dan ruang lingkup aset yang bisa dirampas, yang hanya boleh terkait langsung dengan tindak pidana, bukan menyentuh aset sah milik pihak tak terkait.
Ia juga menegaskan bahwa mekanisme due process atau jaminan konstitusional mutlak harus diterapkan, dengan kontrol hakim di setiap tahapan, mulai dari penyitaan, pembekuan, hingga perampasan, termasuk hak banding dan mekanisme keberatan yang efektif.
Baca Juga:
Demo Ricuh dan Sorotan Publik terhadap RUU Perampasan Aset
Jika konsep NCBAF atau perampasan aset tanpa pemidanaan ikut diadopsi, Mufti menekankan perlunya pagar standar pembuktian yang tinggi, transparansi, serta pengawasan peradilan untuk mencegah penyalahgunaan.
"Perlindungan pihak ketiga beritikad baik (pengguna, konsumen, pemilik sah) serta mekanisme pemulihan atau kompensasi bila terjadi salah sita. Sejumlah organisasi antikorupsi juga mengusulkan pembatasan nilai dan cakupan agar fokus pada kejahatan berat dan mencegah overreach," terang Mufti.
Selain itu, BPKN menegaskan perlunya standar transparansi dan akuntabilitas, termasuk kewajiban publikasi putusan, pelaporan periodik, audit independen, serta ketersediaan kanal pengaduan yang mudah diakses masyarakat.
Sinkronisasi dengan KUHAP, KUHP, dan aturan sektoral seperti perbankan, fidusia, kepailitan, maupun perlindungan data juga dinilai penting agar tidak terjadi tumpang tindih yang berisiko merugikan pelaku usaha dan konsumen.
Mufti menambahkan, kelembagaan pelaksana harus jelas, ramping, dan diawasi lintas lembaga, supaya pemulihan aset bisa efektif tanpa menambah biaya kepatuhan publik.
Ia menekankan bahwa kesalahan desain dalam definisi, beban pembuktian, atau prosedur eksekusi dapat berdampak langsung pada masyarakat, misalnya rekening yang dibekukan tanpa kepastian, aset sah ikut terdampak, atau konsumen beritikad baik terkena imbas.
Karena itu, lanjut Mufti, partisipasi publik harus dimaksimalkan, termasuk melalui uji dengar pendapat dengan komunitas konsumen, akademisi, dan pelaku usaha, sebelum pengesahan.
"Negara memang harus tegas melawan korupsi dan kejahatan ekonomi, tetapi jangan mencederai hak rakyat," jelas Mufti.
"Kami mendukung penuh upaya negara untuk merampas aset hasil korupsi dan kejahatan ekonomi. Namun, jangan sampai rakyat yang jujur, taat hukum, dan beritikad baik ikut terdampak karena aturan yang terburu-buru. RUU ini harus dikaji secara cermat, transparan, dan melibatkan partisipasi publik. Jangan sampai yang lahir adalah instrumen hukum yang melukai rakyat, padahal tujuan utamanya untuk melindungi rakyat," tambahnya.
BPKN juga menekankan agar regulasi ini selaras dengan UUD 1945, terutama Pasal 28H ayat (4) mengenai jaminan hak kepemilikan serta Pasal 28D ayat (1) tentang kepastian hukum yang adil.
"RUU harus memberi rambu due process of law dan proporsionalitas agar tetap konstitusional," terang Mufti.
Ia menyinggung keterkaitan RUU dengan perlindungan konsumen, sebab konsumen merupakan pemilik sah harta dari hasil usaha, tabungan, atau investasi. Jika pasal RUU multitafsir, ada risiko masyarakat umum justru menjadi korban salah sasaran.
Mufti juga menyoroti aspek kepercayaan, bahwa perampasan aset rawan disalahgunakan dan bisa membuat masyarakat kehilangan rasa aman dalam berinvestasi, menabung, atau bertransaksi sehingga kepercayaan terhadap negara ikut menurun.
Oleh karena itu, RUU Perampasan Aset wajib memuat asas kepastian dan keadilan yang dijamin UUD 1945, sejalan dengan filosofi UU Perlindungan Konsumen yang melindungi hak atas rasa aman, kepastian hukum, dan bebas dari perlakuan sewenang-wenang.
"Memperkuat pengaman dalam RUU ini secara langsung juga memperkuat perlindungan konsumen sebagai warga negara pengguna sistem hukum," pungkas Mufti.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]