WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengambil alih tanah-tanah yang dinilai menganggur menuai kritik tajam.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, Mufti Mubarok, menilai kebijakan itu berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara sekaligus bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan keadilan sosial.
Baca Juga:
Aturan Tanah Nganggur 2 Tahun Disita Negara Ramai Dibahas, Begini Penjelasannya
“Tanah bagi masyarakat Indonesia bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga simbol dan simpanan masa depan untuk anak-cucu. Pemerintah seharusnya tidak gegabah mengambil kebijakan yang mengancam rasa aman masyarakat atas kepemilikan tanah,” tegas Mufti melalui keterangan tertulisnya yang diterima WahanaNews.co, Sabtu (16/8/2025).
Mufti menilai pemerintah sebaiknya membereskan terlebih dahulu ribuan aset negara yang terbengkalai, mulai dari lahan milik negara yang tidak produktif hingga rumah dinas yang kosong dan rusak.
“Ada ribuan hektar tanah milik negara yang tidak produktif, rumah dinas yang terbengkalai, bahkan sebagian justru jadi sumber konflik agraria. Ini belum dibenahi, kok malah rakyat yang dibebani,” ujarnya.
Baca Juga:
Elisabeth Silaban Lapor Dugaan Mafia Tanah Usai Diintimidasi di Lahan Warisan Jatiasih
Risiko Pelabelan Tanah Terlantar
Menurut BPKN, penggunaan pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 terkait fungsi sosial tanah, kewajiban mengusahakan tanah pertanian, hingga penghapusan hak milik atas tanah yang ditelantarkan, tidak boleh diterapkan secara kaku.
Mufti mengingatkan bahwa masyarakat yang tidak menguasai tanah secara fisik bukan berarti menelantarkannya.