WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sorotan datang dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) terkait risiko tersembunyi di balik tren penggunaan mobil listrik yang makin marak di tanah air.
Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok, mengingatkan bahwa meski kendaraan listrik merupakan bagian dari agenda transisi energi nasional, perlindungan konsumen tidak boleh dikesampingkan.
Baca Juga:
Viral! Mobil Listrik Jadi Sasaran Petir, Begini Kata Pakar
“Saat ini, mobil listrik belum sepenuhnya menjadi solusi ideal di Indonesia. Selain karena tingginya konsumsi sumber daya alam seperti nikel, terdapat potensi bahaya dari radiasi baterai yang besar dan dekat dengan tubuh manusia. Ditambah lagi, belum ada infrastruktur nasional yang memadai untuk menangani limbah baterai secara aman,” ujar Mufti.
Laporan yang diterima BPKN mencatat beragam keluhan konsumen, mulai dari kendaraan listrik yang mendadak mogok, usia baterai yang tidak sesuai klaim produsen, dampak kesehatan akibat paparan radiasi elektromagnetik (EMF), hingga masalah harga jual kembali, layanan purna-jual, serta kepastian garansi.
Temuan pertama, BPKN menerima laporan kasus kendaraan listrik mogok mendadak, termasuk pada merek tertentu seperti Chery, dengan permasalahan umum terletak pada perangkat lunak dan sistem hybrid/EV yang belum stabil.
Baca Juga:
Formula E 2025 Berjalan Lancar, PLN Tuai Pujian atas Keandalan Pasokan Listrik
Temuan kedua, usia dan performa baterai sering kali tak sesuai janji, karena meski produsen mengklaim masa pakai 8–15 tahun, banyak konsumen mengalami penurunan performa signifikan dalam dua tahun pertama, sementara biaya penggantian baterai yang tinggi menjadi kendala serius.
Temuan ketiga, potensi dampak kesehatan dari radiasi EMF menjadi perhatian karena mobil listrik menghasilkan medan elektromagnetik yang dapat memengaruhi pengguna dengan alat medis seperti pacemaker, dan walaupun masih di bawah ambang batas internasional, studi lebih lanjut tetap diperlukan.
Temuan keempat, banyak konsumen mengeluhkan kesulitan dalam mengakses jaringan servis, ketersediaan suku cadang, hingga proses klaim garansi yang dianggap tidak transparan, padahal garansi baterai biasanya disebut berlaku hingga delapan tahun.
Temuan kelima, harga jual kembali mobil listrik terpantau rendah karena kekhawatiran konsumen terkait usia dan biaya penggantian baterai, membuat nilai kendaraan menurun lebih cepat dibandingkan mobil konvensional.
Temuan keenam, penghapusan atau pengurangan insentif pemerintah memicu lonjakan harga mobil listrik, yang berpotensi menimbulkan kerugian jangka panjang bagi konsumen.
BPKN RI pun menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah, produsen, dealer, hingga konsumen.
Untuk pemerintah, regulasi terkait garansi dan layanan purna-jual kendaraan listrik harus diperketat, produsen diwajibkan menyediakan jaringan servis resmi beserta suku cadang penting, serta perlu diterapkan standar keselamatan baterai nasional termasuk uji EMF secara berkala.
Untuk produsen dan dealer, BPKN meminta informasi garansi baterai harus transparan, ditawarkan program tukar tambah atau refurbish baterai guna menjaga nilai jual kembali, serta proaktif melakukan recall atau pembaruan perangkat lunak jika ditemukan cacat produk.
Untuk konsumen, BPKN menyarankan agar membaca dan memahami syarat serta ketentuan garansi baterai secara menyeluruh, menyimpan bukti perawatan dan riwayat pengisian baterai, serta segera melapor ke BPKN RI jika menemui kendala dalam klaim garansi atau masalah keselamatan kendaraan.
BPKN menegaskan pihaknya akan terus mengawal hak-hak konsumen dalam era transisi menuju energi ramah lingkungan.
“Masyarakat berhak mendapatkan produk yang aman, sehat, dan sesuai dengan janji produsen. Jangan sampai konsumen menjadi korban akibat lemahnya sistem garansi dan layanan purna-jual kendaraan listrik,” tegas Mufti Mubarok.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]