WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI), M. Mufti Mubarok, menegaskan bahwa Warga Negara Indonesia perlu tetap waspada terhadap potensi migrasi data pribadi ke Amerika Serikat, namun jangan buru-buru panik karena semua transfer data harus tunduk pada UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Mufti menjelaskan, isu migrasi data pribadi WNI mencuat setelah Presiden AS Donald Trump menyampaikan rencana kerja sama data dengan Presiden RI Prabowo Subianto dalam perundingan dagang kedua negara.
Baca Juga:
Petik Sepmor Dihalaman Rumah Warga,Dua Sekawan Dijemput Tekab Dari Pajak Roga Berastagi.
“Sebagai WNI memang wajar khawatir, tapi kita jangan langsung menyimpulkan data kita bisa bebas dikuasai Amerika,” ungkap Mufti, melalui keterangan tertulisnya yang diterima WahanaNews.co, Jumat (15/8/2025).
Ia menyebutkan bahwa data pribadi bukan barang dagangan dan tidak ada klausul resmi yang menyebutkan Indonesia ‘menyerahkan’ data secara bebas ke AS, melainkan Indonesia memberi pengakuan hukum terhadap AS sebagai yurisdiksi dengan perlindungan data yang memadai agar transfer data ke perusahaan di AS sah secara hukum dan tetap tunduk pada UU PDP.
Menurut Mufti, ini berarti transfer data legal bisa dilakukan untuk kebutuhan cloud service, fintech, e-commerce, atau bisnis digital lintas negara, tetapi tetap dengan syarat ketat: negara penerima harus memiliki perlindungan data setara atau lebih tinggi dari UU PDP dan harus ada perjanjian hukum yang mengikat atau persetujuan eksplisit dari pemilik data pribadi.
Baca Juga:
emerintah Alokasikan Rp6,3 Triliun untuk Lanjutkan Pembangunan Ibu Kota Nusantara 2026
Ia menambahkan, “Data pribadi kita tidak bisa dipindahkan sembarangan, apalagi dikuasai bebas oleh entitas asing tanpa mekanisme hukum yang sah. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, transfer tidak boleh.”
Mufti menilai kesepakatan ini bagian dari upaya menghapus hambatan perdagangan digital antara Indonesia dan AS karena larangan transfer data lintas negara dianggap hambatan besar bagi perusahaan global seperti Google, AWS, dan Meta.
“Kalau tidak ada legal framework, operasi mereka di Indonesia bisa dianggap ilegal,” jelasnya.
Ia mencontohkan praktik sehari-hari, misalnya transaksi melalui e-commerce lokal yang menggunakan server Amazon Web Services di AS, masuk kategori transfer data pribadi lintas negara.
“Tanpa pengakuan formal terhadap sistem perlindungan AS, praktik ini bisa melanggar hukum,” ujarnya.
Mufti menegaskan bahwa pengawasan ketat tetap dibutuhkan, pemerintah harus menilai kecukupan perlindungan data di AS, melakukan audit berkala terhadap perusahaan penerima data, dan melibatkan subjek data dalam setiap keputusan penting.
“UU PDP memberi kita alat, tapi alat tak berguna kalau tidak ada yang menggunakannya,” tambahnya.
Ia menekankan, “Data pribadi adalah hak, bukan alat transaksi cuma-cuma. Negara belum menyerahkan data kita ke tangan asing, tapi jalannya bisa terjadi jika kita lengah. Data adalah hak asasi digital, dan seperti tanah air, data pun harus dibela.”
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]