WahanaNews.co, Jakarta - ‘No farmer, no food, no future’ (tidak ada petani, tidak ada pangan, tidak ada masa depan) adalah kalimat yang sering diungkapkan oleh Bayu Krisnamurthi, Direktur Utama Perum BULOG. Kalimat ini tampaknya mencerminkan kekhawatiran publik tentang masalah ketahanan pangan yang semakin nyata.
"Jumlah petani kita sudah semakin menurun dan di antara jumlah petani yang tersisa, sebagian besar sudah berusia tua. Pertanian menjadi semakin tidak menarik bagi generasi muda yang akan datang. Hal ini menjadi masalah serius dalam regenerasi pertanian kita," ucap Bayu.
Baca Juga:
Kepala Bapanas Harap Kerja Sama Bulog dan Perpadi Tingkatkan Produksi Stok Beras
Selain jumlah petani yang turun, persoalan lainnya yang dihadapi dalam hulu ketahanan pangan adalah kelelahan tanah pertanian atau yang dikenal sebagai soil fatigue.
"Produktivitas kita stagnan antara lain karena petani menggunakan pupuk berlebihan sehingga lahannya menjadi tidak subur lagi. Untuk memperbaiki hal ini, maka harus direkayasa ulang lagi secara agronomi, sehingga lahan pertanian kembali menjadi subur," ujar Prof. Dr. M. Ikhsan, Ekonom Pangan dari Universitas Indonesia.
Hal ini merupakan hal yang tidak mudah dan harus dikoordinasikan secara baik, tambah Ikhsan. Untuk menciptakan ketahanan pangan yang kuat, dibutuhkan kerjasama antara para pelaku rantai pasok pangan dari hulu ke hilir.
Baca Juga:
Bapanas: Penyerapan Stok Beras April Capai 4,9 Juta Ton
Berdasarkan prognosa neraca pangan nasional dari Badan Pangan Nasional, kebutuhan beras di Indonesia mencapai 31,2 juta ton. Sedangkan menurut Biro Pusat Statistik (BPS), telah terjadi penurunan produksi pada periode 4 bulan pertama di tahun 2024 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023. Hal ini dikarenakan berbagai faktor termasuk krisis iklim, penurunan jumlah petani maupun fenomena El Nino.
Sandi Octa Susila, seorang petani muda sekaligus Ketua Umum Duta Petani Milenial Kementerian Pertanian RI mengatakan, "Kita saat ini menghadapi situasi yang berbeda. Bila dahulu kita mengalami kekeringan, maka tidak sedahsyat yang saat ini dihadapi. Apalagi tahun ini kita menghadapi gorila El Nino yang jauh lebih besar lagi".
Selain itu petani juga perlu pendampingan khusus dalam menghadapi situasi yang berbeda daripada sebelumnya, mulai dari pendampingan aplikasi pupuk yang berimbang, penggunaan benih dengan generasi terbaru serta adanya jaminan asuransi dalam hal kegagalan panen, imbuh Sandi.
Mencoba membantu menjawab tantangan ketahanan pangan di hulu, Perum BULOG melalui hulunisasi program percontohan bernama Mitra Tani, mendampingi para petani termasuk memperbaiki dan membantu mengatasi masalah seperti kekurangan akses pupuk dan bibit unggul serta menjadi penjamin pembiayaan produksi.
"Tujuan program Mitra Tani adalah untuk bersama-sama dengan petani mengatasi problem yang mereka hadapi baik mengenai persoalan kesuburan lahan, menghadapi kekurangan modal, masalah pupuk ,benih dan lain-lain," jelas Bayu.
Perum BULOG telah mencoba beberapa model kerjasama pada program Mitra Tani, termasuk pendampingan, bagi hasil, pengolahan, kemitraan strategis, serta menjadi pembeli hasil panen (off-taker) , yang kemudian menjadi kemitraan pertanian lingkaran tertutup atau dikenal sebagai closed-loop farm partnership.
"Kami sudah membuat berbagai kerjasama termasuk dengan PT. Pupuk Indonesia dan Universitas Hasanuddin serta kami sangat terbuka untuk bekerjasama dengan berbagai pihak, untuk mengembangkan program ini," tambah Bayu.
Saat ini sudah 1.000 Hektare lahan sawah yang menjadi bagian dari program Mitra Tani di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, yang menjadi cikal bakal dari target pengelolaan 200.000 Hektare. Program Mitra Tani adalah langkah nyata di mana Perum BULOG menjadi kawan dan mitra dari petani untuk mengantarkan kebaikan bagi ketahanan pangan nasional.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]