WahanaNews.co | Pertanian merupakan salah satu sektor industri yang pertumbuhannya tergolong positif di masa pandemi. Padahal sebelumnya, dengan resesi ekonomi di depan mata, ketahanan pangan Indonesia diprediksi bisa anjlok.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa peluang bisnis di sektor pertanian cukup menggiurkan untuk digarap sekarang ini.
Baca Juga:
Prabowo Tinjau Langsung Panen Padi di Merauke
Namun, nyatanya masih banyak pekerjaan rumah di sektor industri pertanian yang harus kita selesaikan. Apa sajakah hal-hal tersebut?
Lalu bagaimana kita bisa mengatasinya dengan membuka peluang bisnis lewat inovasi? Simak pembahasan lengkapnya berikut ini.
Baca Juga:
Dinas Pertanian Kubu Raya Rencanakan Penanaman Padi 69.462 Ton Tahun 2024
Kentang dan Bawang Putih
Jika bicara kualitas, ada dua komoditas sektor pertanian yang nasibnya berbeda di Indonesia.
Agus Wibowo, seorang sarjana Agroteknologi yang tinggal di desa petani kentang di lereng Merbabu, mengakui bahwa produktivitas kentang berkualitas di Indonesia masih lemah. Padahal, harganya di pasaran cenderung stabil lantaran waktu simpannya yang cukup panjang.
Kentang dengan budidaya bagus, bisa disimpan hingga 2 bulan, dengan penyimpanan yang sesuai SOP, tidak kena sinar matahari dan tempatnya tidak lembab.
Cabai, kubis, brokoli, rentan rusak, Tidak begitu dengan kentang yang keras. Ketika panen, kentang juga tidak boleh kena air hujan, ini bisa mempengaruhi kualitasnya dan menjadi lebih mudah busuk. Karenanya, treatment panen dan pasca panen sangat menentukan kualitas untuk dijual.
Masalahnya, menurut Agus, tidak semua petani kentang paham tentang hal tersebut.
“Untuk pembibitan pun, kebanyakan masih memakai bibit non-unggul. Tak banyak juga yang mengerti tentang treatment paling sesuai saat panen dan pasca-panen untuk kentang-kentang tersebut,” paparnya, belum lama ini.
Ketertinggalan dalam hal bibit juga terjadi pada komoditas bawang putih.
Intan Anastasia, pemilik usaha Hitara Black Garlic mengaku bahwa untuk produksi, ia justru menggunakan produk bawang putih impor. Sebab, bawang putih lokal Indonesia ukurannya lebih kecil.
“Jika dibuat black garlic, penyusutannya 30 hingga 40 persen, jadi kecil sekali,’ ujar Intan. Tak hanya itu, harga bawang putih lokal pun cenderung lebih mahal.
Menurut Agus, pasokan bawang putih diimpor lantaran Indonesia belum punya sistem pembibitan bawang putih yang benar-benar bagus. Alhasil, produktifitas Indonesia rendah dan tidak bisa mencukupi kebutuhan skala nasional.
UKM Bisa Mengatasi Masalah Petani
Tentunya, potensi bisnis di bidang pertanian akan semakin terbuka luas jika kita mau berkembang dan berkomitmen untuk menyingkirkan masalah-masalah yang ada.
Bibit yang kurang unggul, ketergantungan pada produk pangan impor, serta keterbelakangan pendidikan petani adalah masalah yang masih harus dihadapi. Pelan-pelan, kita mungkin bisa memperbaiki hal tersebut dengan menerapkan beberapa hal, seperti :
1. Menerapkan sistem kemitraan
Jika bicara budidaya kentang di Indonesia, biaya yang diperlukan memang cukup tinggi, namun keuntungannya sebanding.
Meskipun susah cari lahan, namun Agus mengatasinya dengan kemitraan. Diolah oleh petani, tapi menggunakan standar yang dipunya usaha Agus.
Standarnya diseragamkan. Tak hanya di metode pertaniannya, Agus juga berperan sebagai penghubung antara investor dengan si petani. Sebab, banyak lahan, namun tidak banyak petani yang punya modal.
2. Inovasi pembibitan komoditas skala besar
Jika diamati secara luas, ketahanan pangan Indonesia bisa jadi terancam akibat sistem pembibitan yang kurang unggul di negara lain. Dilansir dari Katadata.com, rasio ketergantungan impor bahan pangan cenderung meningkat.
Berdasarkan data dari Global Food Security Index, Indonesia masih berada pada jajaran tiga terendah kawasan Asia Tenggara dalam hal ketahanan pangan. Hal ini termasuk pekerjaan rumah kita yang harus diperbaiki.
Di tahun 2018, sempat ada swasembada bawang putih, digalakkan di mana-mana, tapi kebijakan ini tidak dibarengi kemampuan kita di bidang pertanian dalam melakukan pembibitan.
Produktivitasnya pun tidak bagus akhirnya. Sebab, bawang impor itu sudah hibdrida, jadi saat ditanam tidak bagus. Kemarin, petani sempat menanam dan yang tumbuh hanya akarnya. Itulah jika program dipaksakan, akhirnya rugi dan panennya nihil. Jadi, jika ingin maju di bidang pertanian putih, kita harus punya program pembibitan yang bagus secara nasional.
3. Manajemen Risiko Jika Gagal Panen
Risiko alam, memang sulit untuk dihindarkan dalam pertanian. Sejak lama, petani memang sudah punya kalender musim, di mana ada bulan-bulan tertentu yang harus kita hindari untuk menanam kentang.
Tapi, karena ada tuntutan supply dari pembeli, Agus harus tetap menanam di bulan-bulan tersebut.Banyak teknologi yang bisa diterapkan di lapangan untuk mitigasi bencana sekarang ini. Gagal panen pasti ada, tapi saat kita bisa mitigasi.
4. Pilih metode marketing yang unik
Kita juga marketing produk lokal, pemasaran dengan value produk Nusantara. Seakan-akan saat pembeli membeli produk kita, bisa membantu petani. Segmentasi pasar kita berbeda dengan produsen kripik yang besar. Lebih mengiklankan dampak sosial yang bisa dicapai dengan pembelian keripik.
5. Manfaatkan teknologi sebaik-baiknya
Tidak bisa dipungkiri, bahwa teknologi industri tengah berkembang pesat di zaman ini. Penemuan demi penemuan yang memudahkan petani dalam bekerja terus bermunculan.
Nah, teman-teman juga harus lebih aktif memanfaatkan teknologi terkini untuk hasil pangan yang lebih baik. Semakin banyak petani yang terdidik dan mengerti sistem pengolahan hasil tani dan pemanfaatan teknologi, tentunya semakin baik.
Pekerjaan Rumah Industri Pertanian Indonesia
Selain kentang, petani di Indonesia tidak stabil, karena belum ada dukungan yang benar-benar berdampak dari pemerintah. Agus pun belum berani menjawab karena berkaitan dengan pasar.
Ada yang stabil ketika kita bisa mengolah dan menambah value dari produk tersebut. Kita flat ke petani di harga 9 ribu rupiah. PR kita di dunia pertanian Indonesia adalah teknologi pascapanen, termasuk penentuan harga agar harga bisa jadi stabil dan kuat.
Di Indonesia, petani cenderung sehabis panen terima uang langsung. Jika mau melakukan satu langkah yang lebih tinggi, ada kemajuan.
Gabah dilindungi oleh pemerintah kestabilan harganya di angka 5 ribu rupiah. Tapi, saat panen raya bisa turun sampai 4 ribu. Tapi, harga beras premium tidak pernah di bawah 11 ribu.
Jadi, jika petani mau nunggu seminggu saja, sampai beras premium dipanen, itu sudah naik.
Contoh lainnya adalah komoditas cokelat. Jika cokelat yang sudah dipanen, dikeringkan, lalu difermentasi. Saat sudah mencapai tahap fermentasi 1 hingga 2 minggu, harganya sudah beda 20% lebih mahal.
Tapi, petani kebanyakan tidak mau menunggu. Sehingga keuntungan lebih besar ada di pemasok yang membeli ke mereka. Karena itulah, mengolah hasil bumi harus dikuatkan dalam proses pasca-panen.
Jika mereka mengerti rantai pasok, tentu mereka jadi punya kekuatan. Banyak yang harus dikuatkan, selain mengerti pertanian. Tidak cukup menguasai area bisnis, harus ada mentalitas untuk belajar, menaikkan kualitas dan proses sendiri dan maju serta naik kelas.
Ya, industri pertanian Indonesia memang masih harus banyak berbenah. Namun, bukan berarti peluang bisnis di sektor ini menipis.
Malahan, budidaya bawang putih, kentang, kedelai, dan tanaman-tanaman lain yang masih banyak diimpor saat ini, bisa jadi peluang bisnis kedepannya.
Bukan tidak mungkin, kita bisa menuju swasembada pangan sepenuhnya. Asalkan, anak-anak muda bertalenta mau ikut turun membantu petani dari segala sisi untuk mencapai kesejahteraan. Sebab, sudah saatnya petani naik kelas! [qnt]