WahanaNews.co, Jakarta - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) mendesak pemerintah untuk segera menyempurnakan dan mengesahkan revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Hal ini dianggap penting untuk meningkatkan kecerdasan dan kemandirian konsumen dalam menghadapi berbagai tantangan di sektor kelistrikan yang semakin kompleks.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa konsumen perlu mendapatkan perlindungan hukum yang lebih kuat dan fasilitas edukasi yang memadai dalam penggunaan listrik.
"ALPERKLINAS berkomitmen untuk memastikan hak-hak konsumen terlindungi secara menyeluruh. Revisi UUPK ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum tetapi juga membantu konsumen menjadi lebih mandiri dan cerdas dalam mengelola kebutuhan listrik mereka," ujar Tohom Purba.
Tohom menambahkan, dengan adanya revisi UUPK, pemerintah diharapkan dapat memberikan aturan yang lebih komprehensif dalam menghadapi berbagai isu yang sering dihadapi konsumen listrik, termasuk perlindungan dari praktek-praktek yang merugikan.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
"Revisi UUPK merupakan langkah strategis yang mendesak demi keberlangsungan perlindungan konsumen listrik di Indonesia," tutupnya.
Dua dasawarsa lebih keberadaan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di tanah air.
Tapi seiring perkembangan zaman dan teknologi, muatan materi UU Perlindungan Konsumen tak lagi mampu memenuhi kebutuhan perlindungan bagi konsumen dalam berkegiatan ekonomi.
Upaya merevisi UU 8/1999 pun seolah jalan di tempat. Lantas poin apa saja yang perlu diubah melalui Revisi UU (RUU) Perlindungan Konsumen?.
Kepala Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul mengatakan semula merevisi UU 8/1999 menjadi usul inisiatif pemerintah.
Namun seiring berjalannya waktu dan pergantian rezim, tak ada kemajuan siginifikan nasib RUU Perlindungan Konsumen.
Pendek cerita, DPR pun mengambil alih usul insiatif RUU Perlindungan Konsumen. Kini, RUU Perlindungan Konsumen sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Tetapi justrjustru semakin melemah di tahun 2024
Dia menerangkan, naskah RUU sedang dalam penyusunan. Setidaknya dalam penyusunan draf RUU terdapat beberapa poin penting perubahan.
Pertama, soal definisi konsumen. Dalam Pasal 1 angka 2 UU 8/1999 menyebutkan, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Menurutnya, definisi konsumen bakal dievaluasi. Konsumen selama ini didefinisikan secara individu. Tapi ada pula yang mengatasnamakan organisasi.
Dia ingat betul di Tahun 1988 silam, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengajukan gugatan terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN) lantaran terjadi pemutusan jaringan listrik. Karenanya, YLKI pun menuntut hak ganti kerugian yang dialaminya.
“Makanya pada saat itu YLKI mengajak diri dan menetapkan dirinya sebagai konsumen, padahal itu bukan individu. Nah ini contoh yang perlu kita ubah pengertian konsumen yang tidak hanya individu tetapi juga badan atau lembaga itu perlu dimasukkan kategori konsumen,” ujar Inosentius Samsul dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023).
Kedua, dalam UU 8/1999 sudah mengalami kemajuan dengan menerapkan sistem beban pembuktian terbalik sebagaimana rumusannya dalam Pasal 19 dan Pasal 22. Setidaknya dua rumusan pasal itu bentuk kemajuan dari model tuntutan ganti kerugian.
Tapi, sedianya Indonesia masih tertinggal dengan praktik yang berjalan di negara Eropa dan kawasan Asean yang sudah menerapkan strict liability atau tanggung jawab mutlak akibat yang ditimbulkan berupa kerusakan.
“Yaitu tidak dikaitkan dengan kesalahan, sepanjang ada konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi atau akibat dari produk yang cacat, maka konsumen dapat mengajukan gugatan, tuntutan ganti kerugian tanpa harus membuktikan adanya unsur kesalahan,” katanya.
Kendatipun penerapan strict liability hanya diperuntukan kasus-kasus tertentu, menurut Inosentius prinsip tersebut perlu diadopsi dalam RUU Perlindungan Konsumen nantinya dengan tanpa mengabaikan prinsip tanggung jawab yang umum sifatnya. Yang pasti, penguatan beban pembuktian terbalik serta prinsip strict liability mesti tetap masuk dalam RUU Perlindungan Konsumen.
Ketiga, memastikan lembaga berkaitan konsumen fokus mengurus kepentingan hak -hak konsumen. Selama ini, terdapat Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Penyelesaian Sengketan Konsumen (BPSK).
Tapi masing-masing lembaga itu jalan sendiri-sendiri. Nah melalui RUU Perlindungan Konsumen nantinya mesti memastikan sebuah lembaga yang mengurus konsumen dapat terkoordinasi dengan baik di bidang penyelesaian sengketa misalnya.
Bahkan UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan pun melahirkan lembaga penyelesaian sengketa konsumen. Nah komunikasi maupun Keempat, terkait dengan BPKN. Inosentius menilai BPKN perlu diperkuat kewenangannya agar tidak sekedar sebatas membuat kajian.
Tapi lembaga yang masuk ranah implementing agency alias instansi pelaksana saat terjadi masalah-masalah perlindungan konsumen. Kelima, sistem perlindungan konsumen terkait klausula baku.
Dia menerangkan, terdapat perjanjian baku yang sudah disiapkan sepihak oleh pelaku usaha. Misalnya membeli kendaraan dan rumah secara kredit, maka calon pembeli bakal menandatangani surat perjanjian yang sudah disiapkan pelaku usaha. Masalahnya dalam praktik tak ada yang mengawasi perjanjian kontrak tersebut.
Nah, agar isi perjanjian kontrak dapat menjamin kepentingan hak-hak konsumen, apalagi yang tidak paham hukum secara mendalam, maka negara mesti hadir mereview kontrak baku yang berlaku di semua sektor bisnis, perumahan, keuangan dan lainnya. Dia menilai pengawasan pun masih lemah.
“Bahkan itu (penyelesaian sengketa konsumen, red) diserahkan kepada BPSK, menurut saya kewenangan itu mestinya tidak diserahkan ke BPSK, karena BPSK itu levelnya pada tingkat kabupaten kota, sementara cakupan dari klausula baku ini bersifat nasional bahkan internasional,” katanya.
Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi, mengamini pandangan Inosentius.
Menurutnya perubahan penting dimulai dengan definisi konsumen agar direposisi. Mengacu UU 8/1999 mendefinisikan konsumen akhir. Tapi dengan berkembangan zaman dan teknologi, perlua adanya reposisi terkait perlindungan konsumen.
Soal penguatan lembaga seperti BPSK dan BPKN maupun lembaga swadaya masyarakat perlu dilakukan. Sebab partisipasi masyarakat dan kontribusinya amatlah dibutuhkan dalam perlindungan konsumen. Menurutnya, tuntutan masyarakat terhadap perlindungan konsumen amatlah kuat. Hanya saja konsumen kerap kali berada di posisi lemah.
“Mudah-mudahan bahwa undang-undang konsumen ini segera dilakukan suatu pembahasan, walaupun sekarang ada menjadi hak inisiatif dari legislatif,” pungkas Sularsi.
[Redaktur: Amanda Zubehor]