WahanaNews.co | Beberapa negara saat ini sudah mengalami krisis akibat kenaikan harga komoditas, salah satunya Sri Lanka.
Inflasi yang tinggi juga telah menekan sejumlah negara, di antaranya Amerika Serikat (AS) dan Turki.
Baca Juga:
Apindo Ungkap Penyebab Tutupnya Banyak Pabrik dan PHK di Jawa Barat
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI), Teuku Riefky, menyatakan bahwa untuk Indonesia hingga saat ini masih ada di posisi aman.
Sebab, inflasi Indonesia masih lebih rendah dibanding negara-negara tadi.
"Indonesia saat ini relatif masih rendah inflasinya karena proses pemulihannya relatif behind the curve. Faktor lainnya adalah Indonesia net exporter komoditas," ujar Riefky, saat dihubungi wartawan, Selasa (19/7/2022).
Baca Juga:
Sejarah UMKM Nasional, Roda Penggerak Perekonomian Indonesia
Maka, Riefky mengatakan bahwa tekanan kenaikan harga komoditas berdampak positif terhadap postur fiskal.
Namun, di samping itu, ada faktor yang dapat menyebabkan pelemahan pada perekonomian Indonesia.
"Indonesia sebagai negara berkembang yang rentan terkena capital outflow (arus modal keluar) saat negara maju melakukan pengetatan moneter seperti yang terjadi saat ini," jelasnya.
Lebih lanjut Riefky mengatakan, meskipun saat ini inflasi Indonesia meningkat, tetapi masih dalam posisi yang aman dibanding dengan inflasi negara lainnya.
"Ini levelnya masih manageable (dikendalikan)ketimbang inflasi di negara-negara lain, begitu pun dengan nilai tukar," terangnya.
Namun, dia menuturkan tekanan inflasi tersebut akan semakin besar ke depannya.
Maka dari itu, jelasnya, Pemerintah perlu mengantisipasi, karena utamanya dampak akan ke masyarakat miskin dan rentan.
"Koordinasi untuk menjaga inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi antara pemerintah pusat dan Bank Indonesia sangat krusial dalam mengantisipasi risiko tersebut," ujarnya. [gun]