WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gejala tekanan ekonomi di Indonesia kian terasa nyata saat masyarakat mulai menggantungkan keberlangsungan hidup mereka pada berbagai bentuk utang, dari pinjol, pegadaian, hingga skema bayar nanti.
Fenomena ini tak lagi hanya menyasar kelompok rentan, namun juga merambah kalangan menengah. Pemerintah pun didesak untuk segera menyalakan alarm darurat sebelum krisis konsumsi menghantam lebih dalam.
Baca Juga:
Krisis Ekonomi Argentina Makin Ngeri, Warga Makan Sampah-Bank Sentral Bubar
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bima Yudhistira, mengungkapkan bahwa saat ini tingkat tabungan masyarakat Indonesia mengalami penurunan, baik dari sisi pertumbuhan maupun proporsi.
Menurutnya, perputaran ekonomi yang terlihat menggeliat saat ini justru sebagian besar didorong oleh pinjaman atau utang yang terus membengkak.
“Jadi ini bukan soal daya beli, tapi kondisi masyarakat sekarang sudah bergantung pada pegadaian, pay later, hingga pinjol dengan bunga yang mencekik,” ujar Bima, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
UU Perlindungan Konsumen: Berbagai Peraturan untuk Menjamin Hak Konsumen
Lebih mengkhawatirkan lagi, Bima menilai bahwa utang-utang tersebut kini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, bukan untuk konsumsi barang tersier ataupun investasi.
Kondisi ini pun dikhawatirkan telah merambah kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi nasional, sehingga berpotensi membahayakan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Bima memperingatkan bahwa jika tren ini dibiarkan, maka akan terjadi penurunan konsumsi agregat yang berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai catatan, rasio utang rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia rata-rata tercatat sebesar 14,19 persen dalam periode 2001 hingga 2024.
Angka ini pernah mencapai puncaknya di level 17,80 persen dari PDB pada kuartal keempat tahun 2020, masa puncak tekanan pandemi terhadap ekonomi nasional.
Per kuartal keempat tahun 2024, rasio utang rumah tangga berada di angka 16,20 persen dari PDB, sedikit menurun dari kuartal sebelumnya yang tercatat 16,30 persen.
Sebagai perbandingan, rasio utang rumah tangga terendah pernah tercatat pada kuartal pertama tahun 2002, yakni hanya 6,20 persen dari PDB.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa total utang masyarakat Indonesia melalui layanan paylater mencapai Rp31,55 triliun per Juni 2025.
Angka tersebut mencakup pinjaman dari industri perbankan maupun perusahaan multifinance yang menyediakan layanan beli sekarang bayar nanti (buy now pay later), naik dari posisi Mei 2025 yang tercatat sebesar Rp30,47 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyebutkan bahwa dari total tersebut, kredit paylater melalui perbankan mencapai Rp22,99 triliun dengan total rekening mencapai 26,96 juta.
Sementara itu, kredit paylater yang disalurkan oleh perusahaan pembiayaan atau multifinance sebesar Rp8,56 triliun pada bulan yang sama, berdasarkan laporan Kepala Eksekutif PVML OJK, Agusman.
Jumlah pinjaman dari sektor multifinance itu mengalami lonjakan sebesar 56,26 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, mencerminkan pertumbuhan agresif di tengah tekanan ekonomi rumah tangga.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]