WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia kembali jadi sorotan publik karena dinilai belum memenuhi standar internasional, sehingga berkontribusi pada tingginya emisi kendaraan bermotor yang mencemari udara perkotaan.
Tri Yuswidjajanto Zaenuri, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) sekaligus pakar bahan bakar dan pelumas, menjelaskan bahwa standar global World Wide Fuel Charter (WWFC) sudah menetapkan kategori kualitas BBM yang mampu menekan emisi kendaraan di bawah ambang batas yang diizinkan.
Baca Juga:
SPBU VIVO Sepakat Stok BBM Dipasok dari Pertamina
“Kalau ingin emisi kendaraan memenuhi standar Euro-4, maka kualitas bahan bakar yang digunakan harus masuk kategori 3 atau 4 dalam WWFC,” ujar Tri, melansir Kompas.com, Rabu (1/10/2025).
Menurutnya, BBM yang beredar di Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan parameter WWFC, sehingga banyak aspek penting yang tertinggal.
Tri mencontohkan, aspek yang masih lemah meliputi angka oktan atau Research Octane Number (RON), kadar sulfur, kadar olefin, serta potensi terbentuknya deposit pada mesin seperti katup isap, ruang bakar, dan injektor.
Baca Juga:
Target Konsumsi Minyak dan Batu Bara RI, Mulai 2030 Pelan-Pelan Disunat
Sebagai gambaran, WWFC menetapkan RON minimum 91, sementara di Indonesia masih ada BBM dengan RON di bawah angka itu, seperti Pertalite yang hanya beroktan 90.
Selain itu, kadar sulfur dalam sejumlah BBM juga masih melebihi standar Euro-4 yang mensyaratkan maksimum 50 ppm.
Solar bersubsidi, misalnya, tercatat mengandung sulfur hingga 2.500 ppm, sementara Pertamax Turbo sudah memenuhi standar global.
Tri menambahkan, masalah lain muncul dari perilaku konsumen yang lebih mengutamakan harga ketimbang rekomendasi pabrikan.
“Ketika spesifikasi BBM tidak sesuai rekomendasi produsen, otomatis hasil pembakaran tidak optimal dan emisi menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya,” jelasnya.
Pemerintah sebenarnya sudah menetapkan kewajiban penerapan standar emisi Euro-4 sejak 2017, namun implementasi baru efektif untuk kendaraan bensin pada 2022, sementara untuk mesin diesel diberi tenggat hingga 2025.
Artinya, ketersediaan BBM sesuai standar menjadi faktor kunci agar target pengendalian emisi benar-benar tercapai.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sektor transportasi menyumbang sekitar 44 persen polutan PM2,5 di Jakarta, yang menjadi salah satu penyebab utama kualitas udara buruk di ibu kota.
WHO mencatat polusi udara mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian prematur setiap tahun di dunia, dan Indonesia masuk dalam kategori negara berisiko tinggi akibat padatnya kendaraan bermotor di kota besar.
Tri menegaskan, jika kualitas BBM di Indonesia tidak segera diselaraskan dengan standar global, maka upaya menekan polusi udara hanya akan berjalan setengah hati.
“Jika tidak, maka upaya perbaikan kualitas udara hanya akan berjalan setengah hati,” tegasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]