WahanaNews.co, Jakarta - Istilah greenflation menjadi sorotan dalam debat keempat Pilpres 2024 yang berlangsung pada Minggu (21/1/2024) di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta.
Penggunaan istilah greenflation muncul saat calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengajukan pertanyaan kepada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.
Baca Juga:
Keren, Empat Kali Debat Capres-Cawapres dari Sembilan Stasiun TV Berhasil Jangkau 394 Juta Penonton
Gibran menanyakan, “Bagaimana cara mengatasi greenflation atau inflasi hijau? Terima kasih.”
Dilansir dari Philonomist, istilah greenflation merujuk pada peningkatan harga bahan mentah dan energi sebagai dampak dari peralihan menuju penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan.
Pertanyaannya kemudian, apakah greenflation bisa terjadi di Indonesia?
Baca Juga:
KPU RI Ungkap Empat Kali Debat Capres-Cawapres Berhasil Jangkau 394 Juta Penonton dari Sembilan Stasiun TV
Melansir Kompas.com, pakar Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, ada dua kemungkinan Indonesia bisa mengalami greenflation.
Pertama-tama, greenflation dapat terjadi jika pemerintah telah mengimplementasikan konsep ekonomi hijau di semua sektor.
Faktor lain yang dapat memicu greenflation adalah ketika mayoritas penduduk Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil, sementara sebagian kecil sudah beralih ke bahan bakar yang ramah lingkungan.
Menurut pandangannya, ketergantungan pada bahan bakar fosil inilah yang kemudian dapat menjadi penyebab terjadinya greenflation ketika harga sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi.
“Indonesia kan sebagian besar bahan bakar minyak (BBM) diimpor. Kalau harga dan permintaan minyak dunia naik dan pemerintah sudah tidak sanggup memberikan subsidi, maka akan ada transisi tidak teratur dari bahan bakar ramah lingkungan dan berujung pada greenflation,” kata Fahmy, mengutip Kompas.com, Senin (22/1/2024).
Lebih lanjut, Fahmy menuturkan, kunci dari menekan terjadinya greenflation di Indonesia adalah upaya pemerintah dalam memberikan subsidi BBM.
Sebab, subsidi yang diberikan pemerintah akan menekan harga minyak dunia sehingga tidak terlalu bergejolak dan berpengaruh pada harga BBM dalam negeri.
Namun, ketika subsidi BBM mulai ditarik, hal ini akan memicu greenflation karena kenaikan bahan bakar fosil.
“Apalagi, kalau subsidi yang ditarik secara penuh pada energi fosil tertentu seperti Pertalite, Solar, dan Elpiji 3 kg. Ini akan menyebabkan greenflation di Indonesia,” katanya.
Fahmy menyatakan bahwa kemungkinan munculnya greenflation dapat terjadi dalam rentang waktu sekitar 10-15 tahun ke depan.
Alasannya adalah Indonesia diperkirakan akan memulai implementasi ekonomi hijau dalam periode tersebut, yang berpotensi memicu terjadinya greenflation.
Namun, dia juga menyatakan bahwa kondisi ini bisa terjadi lebih cepat jika harga minyak dunia melonjak tinggi dan bersamaan dengan pencabutan subsidi oleh pemerintah.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]