WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus viral tumbler seorang penumpang KRL yang dikabarkan “hilang” setelah tertinggal di dalam gerbong menjadi sorotan publik.
Situasi itu mendorong Ketua BPKN RI Mufti Mubarok menyampaikan klarifikasi tegas mengenai batas tanggung jawab konsumen dan kewajiban operator transportasi.
Baca Juga:
ALPERKLINAS: Penetapan 8 Anggota DEN Momentum Perbaikan Tata Kelola Energi
Mufti menegaskan bahwa kehilangan barang pribadi di fasilitas transportasi umum harus dipahami secara objektif oleh masyarakat.
“Kehilangan barang di transportasi publik tidak bisa serta-merta ditimpakan kepada operator,” ujar Mufti, melalui keterangan tertulisnya yang diterima WAHANANEWS.CO, Senin (1/12/2025).
Ia menekankan bahwa penumpang tetap memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga barangnya selama perjalanan.
Baca Juga:
Mendag Busan Apresiasi Komitmen Kuat Perlindungan Konsumen
“Penumpang wajib memastikan barangnya tidak tertinggal ketika berpindah stasiun atau meninggalkan gerbong,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa PT KAI Commuter berkewajiban membantu pencarian apabila konsumen dapat menunjukkan bukti valid bahwa barang tersebut tertinggal di gerbong.
Bukti yang diperlukan mencakup rekaman CCTV, tiket perjalanan, atau keterangan dari petugas yang berada di lokasi pada waktu kejadian.
Mufti menyampaikan bahwa BPKN RI membuka ruang mediasi jika keterangan antara konsumen dan pihak KAI tidak selaras.
“Kami siap memfasilitasi mediasi agar informasi dari kedua pihak bisa diuji secara adil,” ucapnya.
Dalam kondisi ketika hasil klarifikasi menunjukkan unsur kelalaian dari pihak operator, Mufti menegaskan bahwa konsumen berhak memperoleh penggantian.
Penggantian yang dimaksud dapat berupa barang sejenis atau senilai harga barang yang hilang sesuai aturan perlindungan konsumen.
Mufti juga menyoroti tindakan langsung memviralkan persoalan ke media sosial meskipun kelalaian awal berasal dari konsumen.
Ia menilai langkah tersebut berpotensi menimbulkan persepsi keliru serta merugikan reputasi penyedia layanan publik.
“Jika kelalaian berasal dari konsumen, tidak dibenarkan untuk memviralkan kejadian tersebut karena dapat menyesatkan publik dan merugikan reputasi pihak terkait,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa penyebaran informasi tidak akurat dapat berdampak pada konsekuensi hukum sesuai regulasi yang berlaku.
Mufti menutup pernyataannya dengan mengimbau masyarakat untuk memprioritaskan laporan melalui kanal resmi sebelum mempublikasikan keluhan di ruang digital.
Ia menegaskan bahwa mekanisme resmi memungkinkan penyelesaian yang lebih objektif, terukur, dan tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak perlu.
Namun ia menyoroti tindakan sebagian konsumen yang langsung memviralkan kasus sebelum melakukan klarifikasi, karena hal tersebut dapat menciptakan informasi yang bias dan merugikan reputasi layanan publik tanpa dasar yang tepat, terutama apabila kelalaian awal justru berasal dari pihak penumpang.
“Jika kelalaian berasal dari konsumen, tidak dibenarkan untuk memviralkan kejadian tersebut, ini dapat menyesatkan publik dan merugikan reputasi pihak terkait,” jelasnya sambil menekankan bahwa penyebaran informasi yang tidak akurat dapat menimbulkan konsekuensi hukum.
Mufti juga mengingatkan bahwa tindakan menyebarkan informasi tidak tepat atau merugikan pihak lain tetap masuk dalam ranah regulasi hukum sehingga masyarakat perlu berhati-hati dalam mempublikasikan konten keluhan di media sosial.
"Utamakan jalur laporan resmi sebelum membawa persoalan ke ruang publik digital, karena mekanisme tersebut memastikan solusi yang lebih objektif, terukur, dan tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak perlu," pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]