WahanaNews.co, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) harus tetap dilakukan pada 2025. Langkah ini diklaim bisa menghemat anggaran subsidi sebesar Rp67,1 triliun per tahun.
Berdasarkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025, pengendalian subsidi serta kompensasi atas solar dan pertalite yang berkeadilan dapat ditetapkan dengan pengendalian kategori konsumen.
Baca Juga:
Wamenkeu Suahasil: Sektor Keuangan Jadi Game Changer Pembangunan Indonesia
Menurut Kemenkeu, saat ini solar dan pertalite dijual di bawah harga keekonomiannya sehingga mengakibatkan kompensasi yang harus dibayar oleh APBN.
"Volume konsumsi solar dan pertalite terus meningkat, demikian juga beban subsidi dan kompensasinya, serta mayoritas dinikmati oleh rumah tangga kaya," kata Kemenkeu seperti dikutip pada Kamis (23/5/2024).
Di sisi lain, polusi udara yang bersumber dari gas buang kendaraan menduduki posisi teratas sekitar 32-57 persen. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat mengendalikan konsumsi BBM.
Baca Juga:
Selenggarakan Forum Bakohumas, Kemenkeu Tekankan Langkah-langkah Pengelolaan Anggaran Jelang Akhir Tahun
Dengan pengendalian konsumen yang berkeadilan, diperkirakan dapat mengurangi volume konsumsi solar dan pertalite sebesar 17,8 juta KL per tahun.
"Keseluruhan simulasi reformasi subsidi dan kompensasi energi ini diproyeksikan akan menghasilkan efisiensi anggaran sebesar Rp67,1 triliun per tahun," kata Kemenkeu.
Kendati, transformasi subsidi dan kompensasi energi harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat serta momentum yang tepat.
Kemenkeu menilai tujuan utama dari transformasi subsidi dan kompensasi energi bukanlah efisiensi anggaran, melainkan mendorong peran APBN yang lebih berkeadilan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan, terutama untuk masyarakat miskin dan rentan.
Khusus BBM, Kemenkeu menyebut arah kebijakan subsidi pada 2025 seperti melanjutkan pemberian subsidi tetap dilakukan untuk BBM solar dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah. Hal ini disertai dengan pengendalian volume dan pengawasan atas golongan atau sektor-sektor yang berhak memanfaatkan.
Terkait besaran subsidi tetap solar, kata Kemenkeu, pemerintah mempertimbangkan perkembangan indikator ekonomi makro, khususnya Indonesian Crude Oil Price (ICP) dan nilai tukar rupiah.
Lalu, melanjutkan kebijakan subsidi BBM tepat sasaran. Untuk meningkatkan efisiensi belanja subsidi, penyaluran BBM bersubsidi dilakukan dengan disertai registrasi konsumen penggunanya.
"Untuk memastikan upaya pengendalian konsumsi berhasil dilakukan, maka diperlukan sinergi dan koordinasi antar kementerian/lembaga dan dengan pemerintah daerah maupun instansi terkait," imbuh Kemenkeu.
Kemenkeu mencatat, realisasi subsidi energi cukup fluktuatif selama periode 2019-2023. Subsidi energi menunjukkan pertumbuhan rata-rata 3,1 persen, dari sebesar Rp136,9 triliun pada 2019 menjadi sebesar Rp164,3 triliun pada 2023.
Apabila dibandingkan tahun 2022, realisasi subsidi energi pada 2023 mengalami penurunan sebesar 4,4 persen atau sebesar Rp7,6 triliun, terutama dipengaruhi oleh turunnya harga.
Adapun realisasi subsidi energi sampai dengan kuartal I 2024 sejumlah Rp27,9 triliun. Ini mencapai 14,7 persen terhadap APBN 2024.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]