WahanaNews.co | Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Aviliani, menilai, keputusan Presiden Joko Widodo alias Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi sudah tepat.
Menurutnya, postur APBN akan berbahaya jika harga BBM tidak dinaikkan.
Baca Juga:
Bikin Rontok Subsidi BBM, Ini Dampak Perang Iran Vs Israel ke RI
“Kalau tidak dinaikkan, pembengkakan APBN bisa berbahaya. Jika semula subsidinya Rp 200 triliun, bebannya jadi Rp 500 triliun. Bahkan bisa lebih Rp 600 triliun,” kata Aviliani, dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), Minggu (4/9/2022).
Aviliani mengatakan, harga minyak dunia pada 2022 dalam asumsi pemerintah berada di angka US$ 80 per barel.
Namun, efek perang Rusia-Ukraina, harganya melambung menjadi US$ 105 per barel.
Baca Juga:
Harga BBM Turun di Musim Mudik Lebaran, Ini Daftarnya
Hal ini membuat harga BBM mau tidak mau harus naik.
"Mau tidak mau harga BBM harus naik, apalagi sebenarnya kebijakan pemerintah tentang harga minyak tidak disubsidi lagi, jadi mereka (harga BBM) akan naik dan turun sesuai harga minyak dunia, karena kita juga masih tergantung impor," katanya.
Meski demikian, Aviliani meminta pemerintah memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait keputusan menaikkan harga BBM.
"Wajar saja masyarakat tidak sepakat naik, persoalan di belakang itu, masyarakat tidak mau tahu. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyampaikan hal-hal yang berkaitan, kenapa BBM naik," katanya.
Aviliani juga mendukung keputusan pemerintah memberikan bantalan sosial sebelum menaikkan harga BBM.
Namun, Aviliani mengingatkan pemerintah untuk memastikan distribusi bantuan sosial benar-benar tepat sasaran.
“Subsidi memang lebih bagus kepada orang, bukan barang. Kalau barang, menimbulkan moral hazard. Bisa ada kenaikan subsidi. Pilihan ini harus dilakukan,” ungkap Aviliani.
Dalam kesempatan ini, Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, menyatakan, tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kerja Presiden Jokowi menjadi modal yang cukup untuk menyelesaikan persoalan ekonomi dan politik.
Berdasar temuan LSI, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi pada bulan Agustus berada di angka 72,3 persen.
Menurut Djayadi, ada kenaikan yang cukup signifikan jika dibandingkan temuan Mei 2022 yang berada di angka 67,5 persen.
“Apakah approval rate bisa menjadi modal untuk menyelesaikan persoalan di Indonesia, seperti ekonomi dan politik, saya jawab iya. Karena tingginya approval rate didasari pada evaluasi masyarakat,” kata Djayadi.
Terkait dampak kenaikan harga BBM, Djayadi menilai tingginya tingkat kepuasan publik atas kinerja Jokowi juga bisa modal yang cukup untuk mengurangi dampak negatifnya.
Hal ini karena angka 72,3 persen menunjukkan sentiment masyarakat cukup positif terhadap kinerja pemerintah, terutama Jokowi.
“Kalau sentimennya sudah positif, kita lebih mudah berbicara dan menyampaikan sesuatu yang kurang baik. Karena masyarakat sudah percaya dengan pemerintah,” ungkap Djayadi. [gun]