WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kritik publik dan pembelaan terhadap para pelaku usaha lokal di Pasar Mangga Dua menguat setelah Amerika Serikat kembali memasukkan Indonesia dalam Priority Watch List dalam Special 301 Report tahun 2024.
Dalam laporan tahunan tersebut, United States Trade Representative (USTR) menuding Indonesia tidak memiliki perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI) yang memadai, khususnya menyoroti pasar-pasar tertentu sebagai “sumber utama barang bajakan dan tiruan,” termasuk Mangga Dua di Jakarta.
Baca Juga:
Kemendag Perkuat Peran Perempuan dan Dorong Manajemen Berbasis Talenta yang Inklusif
Namun tudingan ini ditolak keras oleh sejumlah asosiasi pedagang dan pemerhati kebijakan perdagangan domestik.
"Ini tuduhan yang berlebihan. Sebagian besar pedagang di Mangga Dua adalah pelaku UMKM yang menjual produk legal, baik lokal maupun impor resmi. Tidak adil jika satu-dua pelanggaran dijadikan dasar untuk melabeli seluruh kawasan," ujar Mansuri, Ketua Asosiasi Pedagang Mangga Dua, melansir KBR, Sabtu (26/4/2025).
Dalam Special 301 Report yang dirilis pada April 2024, USTR menyebut: “The United States continues to remain concerned about the lack of effective enforcement of intellectual property rights in Indonesia. Markets such as Mangga Dua in Jakarta remain major sources of counterfeit and pirated goods.”
Baca Juga:
Arnod Sihite Dorong Pembentukan Satgas PHK Demi Maksimalkan Akselerasi Asta Cita Prabowo
Mansuri menyatakan bahwa pemerintah seharusnya lebih aktif dalam melakukan klarifikasi diplomatik terhadap laporan seperti ini, karena menurutnya, laporan tersebut merugikan citra perdagangan lokal dan berpotensi menurunkan kepercayaan konsumen terhadap produk-produk dalam negeri.
"Sekali lagi saya tegaskan, Mangga Dua jadi pusat penjualan barang imitasi itu tidak sepenuhnya benar. Jumlah pedagang yang menjual barang imitasi sangat kecil di sana. Lebih banyak yang menjual produk UMKM dan produk lokal," ujar Mansuri.
Ia juga menyayangkan stigma negatif yang diberikan terhadap pasar rakyat karena justru bisa memukul balik pelaku usaha kecil dan menengah yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas perdagangan legal.
"Jangan sampai laporan seperti ini malah menghancurkan pasar. Padahal, sebagian besar pedagang sudah berjualan sesuai aturan," tambahnya.
Pihak Kementerian Perdagangan RI sendiri belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut, namun beberapa sumber internal menyebutkan bahwa pemerintah tengah menyiapkan respons diplomatik melalui KBRI Washington DC dan perwakilan tetap RI di WTO.
Sementara itu, pakar ekonomi digital dari INDEF, Dr. Nailul Huda, menilai bahwa laporan USTR bisa berdampak pada persepsi investor dan hubungan dagang Indonesia di sektor non-migas.
"Masuknya Indonesia dalam daftar prioritas pantauan Special 301 Report bisa mempengaruhi minat investor asing dan kepercayaan mitra dagang. Ini sinyal bahwa sistem penegakan HAKI kita masih lemah," ujar Huda.
Ia menyarankan agar pemerintah memperkuat kerja sama antar-instansi, meningkatkan anggaran penegakan hukum, serta menggandeng sektor swasta untuk mempercepat transformasi perlindungan hak kekayaan intelektual.
USTR dalam laporannya juga menyebut bahwa Indonesia gagal dalam melindungi undisclosed test data dalam sektor farmasi, serta menyoroti lemahnya enforcement di sektor digital, terutama pada platform e-commerce.
"Indonesia has failed to adequately protect undisclosed test and other data generated to obtain marketing approval for pharmaceutical products. Online piracy and counterfeiting continue to be significant concerns, particularly on popular e-commerce platforms," tulis laporan tersebut.
Tekanan dari USTR ini sejatinya mencerminkan kekhawatiran global atas lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAKI di Indonesia.
Dengan perkembangan digital dan terbukanya jalur perdagangan global, Indonesia dituntut untuk berbenah jika tidak ingin dicap sebagai pusat barang bajakan di kawasan Asia Tenggara.
"Ini bukan hanya soal e-commerce atau pasar tradisional, tapi soal kredibilitas kita sebagai negara hukum di mata dunia," ujar Prof. Siti Rahmah, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia.
Langkah konkret seperti memperbarui regulasi, memperkuat perlindungan data uji, dan membenahi sistem pelaporan serta sanksi, dianggap sebagai jalan tengah untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan konsumen, kepentingan industri lokal, dan komitmen global Indonesia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]