WahanaNews.co | Biaya emosional pada pekerjaan pelayanan langsung dengan pelanggan saat ini membebani pekerja resor pariwisata, menurut studi terbaru University of Portsmouth.
Suasana liburan selalu diharapkan menyenangkan, terlihat bagus dan tetap profesional 24/7, yang mendorong kelelahan pada staf dan tingkat berhenti yang tinggi, bahkan untuk yang paling ekstrovert.
Baca Juga:
Soal Penahanan Ijazah Karyawan, Kemenkumham Nilai Perlu Regulasi Isi Kekosongan Hukum
Studi ini dipimpin Dr. Georgiana Busoi di University of Portsmouth, bersama Dr. Alisha Ali dan Dr. Katherine Gardiner dari Sheffield Hallam University, dan diterbitkan di Tourism Management. Mereka menyarankan operator tur untuk memitigasi biaya kerja emosional stafnya dan berpendapat bahwa perubahan seperti itu akan mudah dan cepat.
Istilah kerja emosional diciptakan sosiolog Arlie Russell Hochschild pada tahun 1983 untuk menggambarkan seseorang yang menekan emosi mereka untuk melakukan pekerjaan mereka.
Itu menjadi melingkupi semua aspek kesopanan, bijaksana, hormat, profesionalisme, dan persahabatan.
Baca Juga:
Pabrik Garmen di Cileungsi Tumbang, PHK 3.000 Orang
Dr. Busoi, penulis utama, mengatakan, "Kita semua melakukan kerja emosional—termasuk memasang wajah ceria ketika Anda tidak merasa ceria di dalam. Sebagian besar kita melakukannya di tempat kerja dan di rumah, itu adalah bagian dari menjadi manusia."
"Tetapi bagi mereka yang pekerjaannya mengharuskan mereka tampil dengan cara tertentu 24/7, itu membawa beban yang sangat berat dan bisa melelahkan," ungkap Busoi, seperti dikutip dari University of Portsmouth, Minggu (13/3/2022).
"Perwakilan liburan (mereka yang bekerja di layanan liburan/wisata, red.) adalah wajah dari paket liburan. Mereka hampir selalu berkontak dengan pelanggan. Selain menyelesaikan masalah apa pun di resor, mereka umumnya diharapkan menjadi tuan rumah kegiatan rekreasi sepanjang siang dan malam, dan selalu tampil sebagai seseorang yang menyenangkan dan profesional."