WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai reaksi keras dari kalangan masyarakat sipil yang menilai langkah tersebut tidak hanya berlebihan tetapi juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip konstitusional dan keadilan finansial.
Lembaga riset dan advokasi kebijakan publik, The PRAKARSA, menyatakan bahwa pemblokiran rekening yang tidak aktif selama lebih dari tiga bulan tanpa dasar hukum yang kuat merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi warga negara.
Baca Juga:
PLN Gencarkan Strategi Baru Elektrifikasi, Terangi Daerah Terpencil Lewat Energi Lokal
“Pemblokiran tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan hak asasi finansial warga negara, serta berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan,” ujar peneliti The PRAKARSA, Ari Wibowo, dalam siaran pers di Jakarta pada Sabtu (2/8/2025).
Ari menekankan bahwa status dormant saja tidak cukup menjadi alasan hukum untuk memblokir rekening jika tidak ditemukan indikasi tindak pidana.
“PPATK memang memiliki wewenang untuk memblokir rekening jika ada indikasi tindak pidana, seperti pencucian uang, namun status rekening dormant atau tidak aktif saja tanpa adanya indikasi pidana yang jelas tidak dapat menjadi dasar hukum pemblokiran,” jelasnya.
Baca Juga:
Cek Kesehatan Gratis di Sekolah, Pemerintah Targetkan 53 Juta Anak Tercakup
Lebih lanjut, Ari menilai kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah regulasi yang berlaku dalam sistem hukum keuangan nasional.
“Pemblokiran rekening dormant bertentangan dengan regulasi di antaranya UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Peraturan PPATK Nomor 18 Tahun 2017, Pasal 12 ayat (2), dan Peraturan OJK Nomor 8 Tahun 2023, Pasal 53 ayat (4), yang pada intinya memberi wewenang pemblokiran jika memang terdapat dugaan tindak pidana,” terang Ari.
Di sisi lain, ekonom The PRAKARSA, Roby Rushandie, menyebut bahwa implementasi kebijakan ini turut menyulitkan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pedesaan dengan keterbatasan layanan keuangan.
“Kebijakan pemblokiran dormant yang tidak berhati-hati sudah menyulitkan masyarakat, apalagi beberapa yang terdampak yakni masyarakat pedesaan yang memang jarang bertransaksi karena keterbatasan infrastruktur,” kata Roby.
Ia memperingatkan bahwa kebijakan ini sangat rawan menyasar kelompok masyarakat rentan yang tidak memiliki akses informasi dan layanan perbankan secara rutin.
“Kelompok masyarakat rentan seperti lansia, pensiunan, pekerja informal, dan mereka yang terkena PHK berisiko terkena pemblokiran rekening,” tambahnya.
Roby mendesak agar pemerintah mengevaluasi total kewenangan dan prosedur kerja PPATK agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga tetap terjaga.
“Pemerintah agar mengevaluasi peraturan dan prosedur PPATK untuk memastikan tidak ada celah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan tindakan pemblokiran didasarkan pada proses hukum yang adil, termasuk putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.
Sebagai solusi, Roby menyarankan agar PPATK bersama perbankan nasional menyusun klasifikasi risiko atas rekening dormant serta membentuk sistem notifikasi dan reaktivasi yang ramah masyarakat.
“Supaya dikategorikan mana rekening-rekening dormant yang memiliki risiko tinggi disalahgunakan, agar tidak salah sasaran, selain itu hendaknya ada mekanisme pemberitahuan atau notifikasi bagi rekening yang akan diblokir, serta mekanisme reaktivasi yang tidak menyulitkan,” pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]