WahanaNews.co | Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, Adi Budiarso, mengaku terus mengamati momen yang tepat untuk penerapan pajak karbon pada akhir tahun ini.
"Kami terus memantau kondisi ekonomi global dan domestik untuk melihat momen yang tepat," ungkap Adi, dikutip dari Antara, Selasa (9/8/2022).
Baca Juga:
Ternyata Ini Rahasia Malaysia Beri Subsidi hingga Harga BBM RON 95 Cuma Rp 6 Ribuan Per Liter
Adapun penerapan pajak karbon di Indonesia untuk sementara ditunda karena ketidakpastian ekonomi global yang sedang berlangsung.
Namun, pemerintah saat ini terus merumuskan peraturan yang diperlukan untuk menerapkan pajak karbon nantinya.
Ia menjelaskan, pajak karbon adalah instrumen penetapan harga karbon yang menjadi bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim dan telah disahkan oleh Undang-Undang Harmonisasi peraturan Perpajakan (HPP) pada tahun lalu.
Baca Juga:
Pengenaan Pajak Karbon Batal Dilaksanakan, Ini Alasan Menkeu Sri Mulyani
Pajak karbon memiliki tiga tujuan.
Pertama, mengubah perilaku para pelaku ekonomi dari kegiatan ekonomi hijau yang tinggi karbon ke rendah karbon.
Kedua, mendukung target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jangka menengah dan panjang.
Kemudian, yang ketiga, adalah mendorong pengembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
"Sementara terdapat pula tiga prinsip penerapan pajak karbon yaitu adil, terjangkau, dan dilaksanakan secara bertahap," tambahnya.
Untuk mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan, Adi menyebutkan Kemenkeu telah merancang peta jalan pajak karbon hingga tahun 2025.
Tentang Pajak Karbon
Secara umum, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan untuk penggunaan bahan bakar fosil.
Untuk waktu dekat, penerapan pajak karbon di Indonesia akan berlaku secara bertahap secara terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Sesuai namanya, pajak karbon adalah pungutan yang dikenakan dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.
Tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Penerapan pajak karbon di Indonesia nanti akan memakai skema cap and tax.
Di mana ditetapkan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.
Dalam mekanisme pengenaan pajak karbon di Indonesia, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai penguran kewajiban pajak karbonnya.
Selama ini, sebagian besar pajak karbon berbentuk cukai, baik sebagai sumber penerimaan umum maupun dialokasikan untuk tujuan tertentu.
Misalnya, cukai atas minyak mentah dan produk minyak untuk mengatasi kerusakan dari tumpahan minyak bumi.
Pengenaan pajak karbon di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
UU HPP memang menjadi landasan pertama bagi penerapan pajak karbon di Indonesia, selain sejumlah regulasi lain yang merupakan peraturan Pajak Karbon sebagai aturan turunan UU HPP.
Selain UU HPP sebagai landasan utama, terdapat sejumlah aturan turunan dari UU HPP yang juga mengatur pajak karbon, namun masih dalam tahap penyusunan teknis oleh Kemenkeu.
Aturan teknis pelaksanaan pajak karbon dimaksud seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.
Sementara, aturan teknis lainnya, seperti Batas Atas Emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). [gun]