WahanaNews.co | Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) melaporkan, hingga akhir tahun, ada 2,2 juta lebih pengguna vape di Indonesia, dengan jumlah outlet sekitar 5.000.
Data ini menunjukkan bahwa produk-produk hasil pengolahan tembakau dan lainnya (HTPL) tidak lepas dari pilihan produk yang memiliki risiko lebih rendah daripada rokok.
Baca Juga:
Ayah Chandrika Chika Kaget Putrinya Pakai Narkoba
Sekretaris Jenderal APVI, Garindra Kartasamita mengatakan, saat ini variasi produk HPTL juga cukup banyak, selain vape ada heated tobacco product (HTP), kantung nikotin, tembakau hirup dan lainnya.
Menjawab banyaknya variasi produk HPTL ini, kata dia, perlu dibarengi dengan pengaturan yang sesuai bagi industrinya, sebab masing-masing produk memiliki profil risiko yang berbeda-beda.
"Regulasi khusus dibutuhkan agar masing-masing produk HPTL dan konsumsinya dapat diatur sesuai profil risiko dan konsumen yang tepat," kata Garindra dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin (4/10/2021).
Baca Juga:
Berkah Ramadhan, Atomizer Bandung Community Bagikan Takjil Gratis
Badan Standardisasi Nasional (BSN) juga sempat menyatakan tengah menggodok SNI HTPL untuk produk berupa nikotin cair atau liquid vape. Jauh sebelumnya, BSN juga menyelesaikan SNI HTPL untuk produk tembakau yang dipanaskan atau HTP.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo pun sepakat dengan hadirnya aturan HPTL ber-SNI. Regulasi SNI ini pun menurutnya merupakan hasil penyusunan dengan melibatkan beragam pihak agar memiliki standar mutu terbaik dan aman untuk dikonsumsi.
"Penyusunan SNI dilakukan oleh komite teknis yang ditunjuk oleh BSN. Dan anggotanya terdiri dari berbagai unsur yang mewakili produsen, konsumen pemerintah, pakar, serta praktisi," ujar Edy belum lama ini.
Selain dari aspek manufaktur, pemerintah juga tengah melakukan kajian terkait aspek fiskal alias penerimaan negara dari cukai HPTL. Selama ini peraturan cukai untuk HPTL masih menginduk dalam peraturan yang sama dengan produk tembakau konvensional, sehingga belum sepenuhnya menggambarkan perbedaan karakter dan risiko produknya.
Pemerintah juga tengah mengkaji penerapan skema tarif baru untuk memungut cukai HPTL dengan mengedepankan prinsip pengendalian produk, skema tarif cukai spesifik dinilai lebih tepat untuk menghitung beban cukai. Skema ini memungkinkan produk HPTL yang sangat beragam dapat diatur dengan tepat sesuai dengan profil risikonya.
Terkait hal itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani mengatakan, saat ini Kementerian Keuangan memang tengah mengkaji untuk mengubah tarif cukai HPTL dari ad valorem menjadi skema spesifik.
"Mengenai penyesuaian metode cukai masih perlu dikaji secara komprehensif di internal Kemenkeu," ujar Askolani. [rin]