WAHANANEWS.CO, Jakarta - Penggunaan pasir laut diperkirakan dapat menghasilkan Rp2,5 triliun dari 50 juta meter kubik dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), menurut Direktur Penerimaan Bukan Pajak di Kementerian Keuangan, Wawan Sunarjo.
Namun, ia menegaskan bahwa angka tersebut masih merupakan estimasi awal karena pengimplementasian ekspor pasir laut masih dalam kajian.
Baca Juga:
Pakar Ungkap Gegera Sampah Plastik Cemari Laut RI, Negara Rugi Rp225 Triliun per Tahun
"Kami belum dapat menyebutkan berapa sebenarnya potensi PNBP-nya," ujar Wawan Sunarjo di Serang, Banten, mengutip Tempo, Sabtu (28/9/2024).
Angka tersebut diperoleh dari asumsi bahwa 50 juta m³ pasir laut dapat diekstraksi.
Jika diandaikan 27,5 juta m³ pasir digunakan untuk kebutuhan domestik dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) Rp93 ribu dan tarif 30 persen, maka PNBP yang terkumpul bisa mencapai Rp767,25 miliar.
Baca Juga:
Ancaman Perubahan Iklim, Sejumlah Pulau Indonesia Terancam Tenggelam
Sedangkan sisanya, 22,5 juta m³, diekspor dengan HPP Rp228 ribu dan tarif 35 persen, yang dapat menghasilkan PNBP sebesar Rp1,79 triliun. Total PNBP dari 50 juta m³ pasir laut diperkirakan mencapai Rp2,56 triliun.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024, harga patokan untuk pasir laut ekspor ditetapkan sebesar Rp186 ribu.
Dengan demikian, potensi PNBP dari pemanfaatan pasir laut menurut keputusan tersebut diperkirakan menjadi Rp2,23 triliun.
Mengingat peraturan mengenai ekspor pasir laut yang baru saja diberlakukan, Wawan menyatakan bahwa belum ada target penerimaan PNBP untuk tahun depan.
"Karena PP tentang pasir laut baru saja ada, untuk 2025 belum ada target," katanya.
Ekspor pasir laut sebelumnya dilarang, namun kini dibuka kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Tantangan lainnya dalam mengekspor pasir laut adalah perlunya kajian mendalam mengenai kandungan pasir yang diekspor, karena pemerintah hanya mengizinkan ekspor pasir yang merupakan sedimen laut.
Wawan menyatakan bahwa penelitian diperlukan untuk memastikan produk yang diekspor hanya terdiri dari sedimen pasir tanpa mineral berharga yang dilarang.
Ia mengungkapkan kemungkinan pembentukan tim khusus yang terdiri dari para pakar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Keuangan untuk melakukan kajian mengenai ekspor pasir laut tersebut.
"Prosesnya tidak semudah memiliki konsesi, lalu langsung mengangkut pasir untuk diekspor. Pasti ada tim penilai," katanya.
Rencana pemerintah untuk kembali mengekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang mendapat banyak penolakan dari pegiat lingkungan yang khawatir akan merusak ekosistem laut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa hingga kini belum ada ekspor pasir hasil sedimentasi di laut.
"Ekspor belum dilakukan. Banyak perusahaan yang berminat, tetapi persyaratan sangat ketat," ungkap Menteri Trenggono di Jakarta pada Selasa.
Ia memastikan bahwa ekspor hasil sedimentasi baru dapat dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Selain untuk reklamasi, pasir laut juga bisa dimanfaatkan untuk proyek pembangunan jalan tol dan rehabilitasi pulau-pulau kecil yang terancam hilang.
“Sedimentasi dapat menutupi terumbu karang dan jalur kapal, yang jelas mengganggu lingkungan. Kita ingin menyelesaikan masalah tersebut, dan fokus utama adalah reklamasi domestik agar materialnya tidak diambil dari pulau-pulau,” tambahnya.
Adapun syarat yang dimaksud mencakup perizinan, penggunaan kapal dan teknologi, serta pemaparan tujuan penggunaan hasil sedimentasi oleh pelaku usaha untuk memastikan bahwa pemanfaatan tersebut tidak merusak lingkungan.
Misalnya, jika sebuah perusahaan ingin memanfaatkan hasil sedimentasi untuk reklamasi, mereka harus menunjukkan kebutuhan dan lokasi reklamasi yang relevan.
Dia menjelaskan bahwa akan dilakukan pengecekan untuk memastikan reklamasi tersebut tidak berdampak negatif terhadap ekosistem.
Pelaku usaha juga diharuskan memiliki izin dasar reklamasi dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Tidak semua kapal dapat digunakan untuk membersihkan hasil sedimentasi, dan waktu pembersihan juga menjadi pertimbangan dalam memperbolehkan pelaku usaha memanfaatkan hasil sedimentasi.
Proses pembersihan akan diawasi untuk memastikan bahwa material yang diambil tidak mengandung mineral yang berada di bawah wewenang Kementerian ESDM.
Pengawasan ini akan melibatkan Tim Kajian yang terdiri dari KKP, kementerian/lembaga terkait, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah.
"Kapal yang digunakan harus sesuai rekomendasi kami untuk memastikan pengambilan dilakukan dengan benar. Ini penting untuk keberlanjutan dan melindungi ekosistem," tutupnya.
Pengelolaan hasil sedimentasi diatur dalam Permen KP Nomor 26 Tahun 2023, yang menyebutkan bahwa tata kelola dilakukan untuk mengatasi sedimentasi yang dapat mengurangi daya dukung dan kapasitas ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, serta untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem tersebut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]