WahanaNews.co | Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, Indonesia tak perlu cemas dengan adanya krisis energi yang terjadi di sejumlah negara di dunia seperti Eropa, Inggris, China, dan India.
Menurut dia, Indonesia punya banyak keunggulan untuk merancang transisi energi menuju dekarbonisasi tahun 2060 atau lebih awal secara lebih baik.
Baca Juga:
Dewan Energi Nasional Ungkap Butuh Rp 3,7 Kuadriliun untuk Tekan Emisi 31,89% pada 2030
"Kita harus menemukan peta jalan transisi energi yang paling optimal, karena ada juga yang bilang Indonesia jangan mengikuti negara-negara barat melakukan transisi energi. Menurut saya itu tidak benar karena transisi energi harus mengikuti prinsip-prinsip yang mendasar," ujarnya dalam webinar bertajuk Energy Crisis in UK and Europe, Senin (11/10/2021).
Menurut dia, keamanan pasokan harus bisa dijamin dan harga energi yang terjangkau juga penting untuk mengoptimalkan sumber energi baru terbarukan yang ada di Indonesia.
"Dalam kebijakan energi kita, baik dalam KEN maupun RUEN juga sudah ada. Paling penting sekarang bagaimana menerjemahkan prinsip-prinsip itu di dalam perencanaan transisi energi Indonesia," tuturnya.
Baca Juga:
Simak! Ini Biang Keladi yang Buat PLN Kelebihan Listrik
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan, indeks ketahanan energi Indonesia saat ini berkisar 6,57 atau masuk kategori tahan.
Indeks ketahanan energi diukur dari aspek keterjangkauan harga, ketersediaan energi, kemampuan akses, dan ramah lingkungan. "Indeks ketahanan energi kita dari 4 variabel itu ada di angka 6,57 di kategori tahan dari tingkat tertinggi sangat tahan di angka 8," urainya.
Menurut Djoko, cadangan minyak nasional saat ini mampu memenuhi kebutuhan domestik selama 20-25 hari. Sementara gas dan batu bara diekspor karena kebutuhan domestik yang telah terpenuhi. Meski begitu, Indonesia tetap harus mengantisipasi impor energi fosil, yakni minyak bumi yang akan berdampak pada subsidi. [qnt]