WahanaNews.co, Jakarta - Data World Meteorological Organization menunjukkan bahwa 2023 menjadi tahun dengan suhu terhangat dengan kenaikan suhu global mencapai 1,45 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, pemanasan global ini dapat membawa dampak besar dan sistemik terhadap perekonomian jika tidak diatasi secara benar.
"Berbagai studi menunjukkan skenario terburuk yang dapat ditimbulkan oleh perubahan iklim adalah penurunan PDB hingga 10% pada tahun 2025," ujar Menkeu dalam acara Standard Chartered’s Decarbonisation Opportunities in ASEAN pada Jumat (6/9) di Jakarta.
Baca Juga:
Kinerja Pendapatan Negara Tahun 2024 Masih Terkendali, Menkeu: Ada Kenaikan Dibanding Tahun 2023
Menurutnya, penurunan 10% Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan sesuatu yang sangat signifikan dan memiliki konsekuensi besar. Tidak hanya bagi perekonomian tetapi juga berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja khususnya bagi generasi muda.
Ia memaparkan, kenaikan suhu udara meningkatkan potensi terjadinya bencana alam yang kemudian bisa mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur. Perubahan iklim menurutnya juga menyebabkan ketidakstabilan sosial politik di mana kelompok masyarakat miskin dan rentan akan menjadi yang paling terdampak.
Untuk itu, Menkeu menekankan peran penting seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta dalam upaya dekarbonisasi. "Karena ini adalah upaya yang memerlukan biaya besar. Dan itulah mengapa kita benar-benar perlu berdiskusi ketika kita berbicara tentang perubahan iklim, semua pemangku kepentingan, tidak hanya sektor publik, tetapi juga sektor swasta, dan bagaimana kita akan menciptakan lingkungan yang tepat bagi sektor swasta untuk berpartisipasi," ucap Sri Mulyani.
Baca Juga:
Hadiri Rakornas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tahun 2024, Menkeu: Awal Sinergi yang Baik
Menkeu mengungkapkan, Indonesia memerlukan 281 miliar USD atau lebih dari 4.000 triliun rupiah untuk menuntaskan komitmen pengurangan emisi CO2 khususnya transisi energi. Pembiayaan tersebut menurutnya tidak bisa berasal dari APBN semata, sehingga memerlukan peningkatan peran dari swasta.
"Meski pemerintah tentu saja memainkan peran yang sangat penting dan utama, sektor swasta sebenarnya perlu melangkah maju dan akan terus memainkan peran yang jauh lebih signifikan. Mereka dapat terlibat melalui pengurangan emisi karbon dengan juga mengadopsi ESG, praktik keberlanjutan, dan juga mendanai teknologi hijau," ujar sang Bendahara Negara.
Bahkan menurutnya, peran sektor swasta beserta lembaga filantropi, lembaga keuangan multilateral, dan komunitas internasional tidak hanya penting, tetapi juga menjadi suatu keharusan.